Keping 39 : Terima Kasih, Lora

4.5K 348 137
                                    

-uma cuman mo bilang, chap ini puanjang... so, semoga dapat menikmatinya dengan asik-

-tolong jauhkan semua benda yang bisa di lempar dari dekat teman2 seperti lemari, kulkas tiga pintu, sofa, dan gerbang sekolah-

-geregetan setelah membacanya, bukan tanggung jawab uma-

-beri coretan chap ini sebanyak-banyaknya yaaa-

-akan kita lanjut kalau masa iddah kucing uma selesai, lah!-

.

Happy reading

.................

"Kamu kenapa di bawah sana, Ikhsan?" Sebenarnya itu hanya pertanyaan sederhana yang Amira lontarkan, benar-benar sederhana. Tak seribet hukum postulat yang Abraham Maslow punya, tak sesusah membaca angka di belakang koma pada papan digital bursa saham, juga tak sesulit menerima kenyataan bahwa dia yang dicinta tak pernah balik mencinta. Tapi tetap saja, namanya tertangkap basah, pasti tak akan ada yang sederhana. Minimal jantung dan pankreas tukar posisi, berganti fungsi demi bisa mempertahankan kesadaran diri.

Ayolah, di mana letak martabat Gus Ganteng kini? Burhan dan Ajeng sedang melotot ke arahnya, ternganga lebar tak percaya.

Ikhsan memang membatu, tapi tetap bertahan dengan gaya batu untuk waktu yang lama sepertinya bukan solusi tepat, sebab tak sedetik pun tiga pasang mata yang menatapnya kini urung melotot. Amira, Burhan dan Ajeng menunduk ke bawah kolong, menyaksikan pertunjukkan spektakuler dari Ikhsan yang tak mereka sangka-sangka akan digelar di tempat sesempit itu.

Maka tak ada jalan lain selain menyongsong kenyataan yang terpampang, dengan berat hati, Ikhsan membawa tubuhnya keluar dari kolong. Mencoba tersenyum ramah pada orang-orang yang berdiri menatapnya heran sambil meluruskan kerutan baju depannya perlahan.

Lora menyudut di tepi pintu, menunduk pucat, tak tahu apa yang harus dikatakan dan dilakukannya kini. Merasa bersalah karena telah membuat Ikhsan terlihat amat sangat kurang kerjaan.

Sementara Ajeng, sesaat setelah memastikan bahwa yang berdiri di hadapannya adalah senior dambaan sejuta cewek dijurusan, langsung membekap erat mulutnya menahan teriakan. Berloncatan tak karuan. Lalu, diluar kendali diri, si tomboy menepuk kencang pundak Burhan yang berdiri menganga di sebelahnya, berkata takjub, "jinjja? Burhan... jinjja?"

Burhan yang pundaknya baru saja ditepuk keras tersadar dari cengonya. Karena saat mendengar ucapan Ajeng tadi Burhan hanya menggunakan setengah kesadarannya, maka si gembul membalas asal pada Ajeng, "itu Bang Ikhsan senior kita, Jeng. Sadar dikit Jeng."

Ajeng heran seketika, dahinya berkerut maksimal, menatap Burhan penuh tanda tanya. Kenapa ia tiba-tiba disuruh sadar? Kapan pingsannya?

"Itu Bang Ikhsan, Jeng. Bang Ikhsan." Burhan memperjelas kalimatnya, menatap Ajeng jengah. "Bisa-bisanya lo minta yang aneh-aneh ke gue di depan Bang Ikhsan."

"Gue? perasaan gue nggak minta apa-apa ke elo." Ajeng membela dirinya tanpa ragu usai Burhan menatapnya rendah.

"Barusan lo ngomong ke gue sambil nepuk pundak gue, tinja Burhan, tinja." Burhan menggeleng pelan, "apa namanya itu kalau nggak minta ha? Kenapa harus tinja Jeng? Dan kenapa harus dimomen ini?"

Mendengar ucapan Burhan, Ajeng kesal seketika. Si gadis langsung memukul kepala belakang lelaki tambun itu tanpa kira-kira.

"Aw! Sakit set..." Burhan memekik sambil meringis, hampir merutuk, tapi tak jadi karena sadar ia sedang ada di mana.

"Tan lo!" Ajeng yang sedang dibakar kesal menimpali cepat tanpa peduli tempat.

Untung Amira yang ada di sebelah mereka tak terlalu dengar. Kalau dengar, beeeh habis mereka berdua di suruh baca Kitab Ta'alim al Muta'alim bolak-balik semalaman harus tamat. Ditambah dengan buku Hukum Bermuamalah dalam Kehidupan Sehari-hari yang harus mereka hapal dalil-dalil wajibnya pada bab lisan.

SanuLoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang