Keping 35 : Buka Saja Dulu, Sisanya Biar Allah yang Atur

3.7K 335 97
                                    

(That Should be Me)

That should be me, holding your hand (seharusnya aku yang memegang tanganmu)

That should be me, making you laugh (seharusnya aku yang membuatmu tertawa)

That should be me, this is so sad (seharusnya itu aku, ini sangat menyedihkan)

That should be me, that should be me (harusnya itu aku, harusnya itu aku)

That should be me, feeling your kiss (seharusnya aku yang merasakan ciumanmu)

That should be me, buying you gifts (seharusnya aku yang mebelikanmu hadiah)

This is so wrong, I can't go on (ini sangat salah, aku tak bisa lanjutkan)

Till you believe, that should be me (sampai kamu percaya, harusnya itu aku)

.

-kita rehat sejenak dari yang tegang-tegang (mungkin)-

-banyak2lah tersenyum membaca ini, walau tak pernah dibalas senyum balik oleh layar HPnya-

-tapi nanti-nanti jangaaaaaaan..... ah itulah pokoknya-

.

Happy reading

.........

2 jam sebelum pertemuan Ikhsan dan Lora di rumah bambu

Ikhsan hanya bisa melihat punggung Lora yang menghilang di telan sebuah mini bus hitam. Tak tahu apa yang tengah direncanakan istrinya kini. Dan tak bisa mendekat untuk mencari tahu meski ia sangat penasaran.

Sampai mini bus itu berbelok dan tak terlihat lagi, baru Ikhsan menghela napasnya panjang. Melonggarkan sedikit kepalan jemarinya. Mencoba untuk menjernihkan isi kepala.

Ini siang yang sangat terik. Kampus lengang. Setengah mahasiswa sedang belajar, setengahnya lagi mungkin tak ada di area kampus.

Ikhsan sebenarnya masih punya dua mata kuliah lagi, Mekanika Rekayasa IV dan Konstruksi Baja I. Itu bukan mata kuliah sereceh butiran debu, bukan. Buktinya saja angkatan Baron masih banyak yang mengulang ke bawah karena saking padatnya materi di mata kuliah itu. Tapi Ikhsan, usai Dito menggelar perhelatan akbar di depannya tadi, membawa pergi bayi kelincinya dengan sangat tidak sopan, ia kehilangan nafsu untuk menyimak pelajaran.

Lelaki beralis mata tajam dengan pahatan hidung sempurna itu belum shalat Zuhur gara-gara waktunya tersita mengelilingi universitas. Tapi perjuangannya malah dibayar tunai dengan rasa sakit dan bersalah yang muncul secara bersamaan.

Ikhsan, dengan langkah gontai memilih mendatangi mushalla jurusan untuk menuntaskan kewajibannya. Shalat Zuhur di sana.

Lima belas menit lepas dari rutinitas Zuhurnya, Ikhsan duduk di sudut ruangan sambil memejamkan mata. Tidak tidur, tentu saja si tampan tidak tidur. Mana mungkin dia akan tidur dikondisi seperti ini.

Hanya ada dirinya di dalam mushalla itu, sendirian, menyudut pilu.

Baju Ikhsan masih basah, tapi wajahnya sudah mulai cerah karena baru saja disapu air wudu.

Ikhsan berzikir dalam pejamannya, berusaha berkomunikasi pada Zat yang telah memberikannya segala nikmat. Bercerita langsung.

"Ketika engkau menginginkan Allah memberikanmu pertolongan dan ketenangan hati, maka kau harus tahu, Allah mengajarkanmu untuk memintanya dalam doa. Bercerita pada Allah dengan segala kerendahan diri, kelemahan jiwa, dan ketidakberdayaanmu. Sungguh Allah dengar segala yang terbesit, sungguh Allah tahu semua yang tak sempat terkata." Ucapan Sang Ayah melintas jelas dalam pemikiran Ikhsan kala si tampan fokus dengan kesendiriannya saat ini.

SanuLoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang