Keping 10 : Selamanya Saja

4.2K 385 37
                                    

Happy reading

.................

Setelah Ikhsan meninggalkan Lora sendirian di teras rumah, gadis berlesung pipi itu tak langsung memilih untuk masuk, ia malah merendahkan tubunya, duduk di pinggir teras. Melipat lututnya dan merangkulnya dengan dua lengannya. Sedikit membungkuk.

Padahal di dalam masih ada Abah Latif dan Amira yang menunggu mereka berdua selesai diskusi. Tapi Lora, entah mengapa tak bisa untuk tak menunggu senior bermulut tajamnya itu kembali. Segan saja rasanya jika harus meninggalkan Ikhsan begitu saja.

Ikhsan benar-benar hanya butuh waktu lima menit berjalan dari rumah bambu menuju dapur umum dan kembali lagi ke rumah bambu.

Lora yang mendapati Ikhsan mendekat padanya dengan membawa dua rantangan penuh di tangan kiri dan kanan langsung mengangkat tubuhnya, seutas senyum terlukis di wajah gadis itu, "Bang Sanul bawa makanan ya?"

Ikhsan menjawab sambil berlalu, "masuk, kita makan bersama Abah dan Uma di dalam."

Lora tak perlu menunggu mulut Ikhsan kembali bersuara, dengan semangat bak pejuang anti pelakor Lora memburu langkahnya, mengikuti Ikhsan di belakang. Perut gadis itu memang benar-benar sudah memberontak.

Sesampainya di dalam, Ikhsan langsung duduk di depan Amira dan Abah Latif, membongkar rantangan yang dibawanya, berkata sopan, "kita makan dulu ya Bah, Ma."

"Tapi diskusi kalian tadi gimana? Nggak ada perubahan 'kan?" Amira bertanya cepat, membantu Ikhsan membongkar rantangan yang dibawa putra tampannya itu.

Lora yang baru berhasil duduk setelah berjuang berdamai dengan rasa ngilu di punggungnya memaksa senyum ramahnya pada Abah Latif, lalu menjawab pertanyaan Amira dengan suara sedikit tertahan, "Sabtu depan... sesuai kesepakatan Bang Sanul dan Abah, Sabtu depan mari kita coba pernikahannya Uma."

Mendengar ucapan polos Lora, Amira yang tangannya sedang sibuk menyalin nasi ke dalam piring yang baru saja Ikhsan jemput dari belakang terkekeh pelan, "nikah kok buat coba-coba Lora."

"Siapa tahu beruntung Uma, sayang kalau tidak dicoba, berhadiah pesantren soalnya." Ikhsan menyela cepat, bermaksud mencairkan suasana.

Tapi Lora yang menganggap ucapan Ikhsan bukan sebuah candaan langsung balas menyela, "Lora bukan cewek matre, Bang Sanul. Lora sudah hidup berkecukupan selama ini."

"Saya tidak mengatakan kamu perempuan matre." Ikhsan menanggapi sambil menyambut piring yang Amira berikan padanya.

"Tapi apa maksud Bang Sanul barusan ha? Yang bilang berhadiah pesantren itu? Bukankah sama aja dengan nyindir Lora?" Lora sedikit mengangkat suaranya, lupa kalau di depannya kini sedang ada orang tua Ikhsan.

Sebelum Jerman kembali terpisah menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur, Abah Latif segera mengambil jalan tengah, bersuara pelan sambil menatap Lora, "sudah Nak Lora, jangan terlalu meletup-letup, gunakan energimu untuk hal-hal yang berguna." Lalu Abah Latif mengalihkan pandangannya ke samping kiri, menatap sang putra dan berkata dengan suara yang sedikit tertahan, "jika ingin jadi lelaki yang dihormati, maka pilihlah ucapan yang baik, Ikhsan."

Usai mendengar wejangan singkat sang Kiai, baik Ikhsan maupun Lora tak lagi bersuara, mereka menunduk, mengurus piring makan masing-masing.

Saat hendak mengambil lauk, Lora baru tersadar kalau dalam tiga rantang yang berisi lauk di depannya kini, ketiganya adalah lauk yang tak bisa ia makan. Di rantang pertama ada ikan gurame goreng cabai ijo, di rantang ke dua ada tumis taoge, dan di rantang ke tiga ada tongseng ikan tongkol.

Lora menelan ludahnya dalam, bergumam pelan, "eoteohke?*"

Gumaman itu terdengar samar oleh Ikhsan meski si senior tak tahu artinya apa, "kenapa kamu? Tidak suka lauk di sini?"

SanuLoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang