39. Mabora

2.1K 107 5
                                    


Makan malam dengan suasana hening, tanpa ada pembicaraan. Kresna hanya menyantap makanan tanpa memandang sebelah kanan orang yang selama ini ia benci.

"Gimana sekolah kamu, Kresna?"

"Biasa aja."

"Nggak ada perubahan sama sekali sama kamu. Sering sekali Papa dapat kabar kamu melanggar aturan, masuk clubbing, dan dengar-dengar sudah punya pacar?"

Kresna menyengkram kuat sendok, ia tersulut emosi. Pembicara Papanya ia tau kemana.

"Kapan-kapan kalau ada waktu, Papa ingin kenal dengan gadis itu, Kresna." Lanjut Zwen Gibson menatap ke anak pertamanya.

"Aku ke atas dulu ya, Bunda." Kresna menatap Naura sambil tersenyum. Ia mengecup rambut Bundanya penuh sayang.

"Bicara dulu sama Papa kamu."

"Nggak penting, Bunda."

Zwen membanting sendok ke meja, ia menatap Kresna tajam, "Kresna Nelka! Dimana letak sopan santun kamu sebagai anak?! Saya selalu diamkan kamu, bukan berarti saya tidak peduli!"

Kresna tidak menggubris sama sekali. Dia tetap meninggalkan ruang makan.

"Dasar Anak tidak tau malu! Saya menyesal membesarkan kamu, Kresna! Kamu sangat jauh beda dengan adik kamu! Dia penurut! Kamu pembangkang!"

"Papa sudah." Sebagai Ibu pastinya ia sakit hati mendengar penuturan kalimat menyakitin seperti itu.

"Kamu nggak usah ikut campur, Naura! Anak kamu selalu kamu manjakan! Dan berujung seperti ini!" Bentak Zwen menggebrak meja.

Naura sampai terisak mendengarnya. Kresna segara membalikan tubuhnya, mendekat ke Naura. Dia membawa Naura ke belakang tubuhnya.

"Jangan salahkan, Bunda, Mr. Gibson!" Sentak Kresna menggelegar, "Yang patut disalahkan disini adalah anda! Yang nggak pernah becus sebagai Ayah maupun suami!"

"KRESNA!"

"Yes, I am. Lebih baik anda nggak pulang sama sekali. Jika kepulangan anda membawa keributan di rumah ini!"

"Kakak, sudah, Kak. Jangan membantah." Pinta Naura mengelus lengan anak sulungnya.

"Berani-beraninya kamu! Kamu mau jadi apa nanti, Kresna?!" 

Dengan tatapan datar dan dingin ia menatap nusuk ke wajah Zwen, "Ingin menjadi seorang Ayah serta Suami berhati hangat! Dan menjadikan dirinya sebagai rumah paling nyaman untuk keluarga kecilnya! Tanpa ada pengkhianatan sama sekali!"

Zwen melotot emosi, ia mendekat ke arah Kresna. Dan PLAK! Tamparan keras mendarat di pipi. Naura mendorong kuat tubuh Zwen.

"SAYA NGGAK SUDI PUNYA ANAK SEPERTI KAMU!"

Kresna hanya menatap datar, dia menarik Naura agar jauh dari Zwen. "Bunda kita ke kamar." Kresna merangkul penun Naura dengan sayang. Meninggalkan Zwen yang masih saja mengumpat.

"Maafkan Papamu, Kresna. Bunda tau, dia nggak maksud nyakitin kamu."

Kresna hanya diam, tak menjawab. Dia mendudukan Naura di ranjang. Naura memeluk Kresna, ia begitu tersiksa melihat hubungan Suami dan Anaknya.

Kresna mengelus punggung Naura terus dengan lembut. Diambang pintu terlihat gadis kecil berusia tujuh tahun sedang berdiri memeluk boneka jerapahnya.

"Bunaa." Panggilnya lemah.

Mereka saling menatap. Segara Naura menghapus air matanya. Tersenyum manis ke putri bungsunya.

"Kamu kebangun sayang?"

Felicite Gibson, anak terakhir dari Keluarga Zwen dan Naura. Kresna begitu menyayangi mereka berdua.

"Fizzy kebangun denger suara Buna nangis. Makannya Fizzy datang kesini."

Kresna mendudukan Felicite di pangkuannya. Mengecup lembut rambut coklat mudanya.

"Nggak, Bunda nggak nangis, Fizzy. Fizzy tidur sama Bunda ya. Kakak harus belajar. Besok kan kakak masih ujian."

Felicite menatap Kresna sendu, ia memeluk tubuh Kresna, "Jangan pergi lagi ya, Kak. Fizzy sama Buna sering kesepian disini."

Naura menahan tangisannya. Ia tau mengapa Kresna sering sekali menginap di Apartemen, tidak di rumahnya.

"Iya, Sayang." Jawab Kresna lembut. Tatapan kali ini menatap Naura, "Kalau ada apa apa telpon Kresna." Kresna bangkit dan mendudukan Felicite disamping Naura.

"Take care, Boy."

"I will."

Sebelum meninggalkan kamar utama Naura, ia mengecup lagi kedua pipi bundanya. Kresna menutup pintu dengan pelan, seraya mengambil jaket dan kunci mobil. Tangannya aktif memberi kabar ke dua sahabatnya.

Kresna:
🤙

Hanya dengan satu emot, mereka sudah paham kondisi yang dialami oleh Kresna apa. Tanpa menanyakan tempat dan kapan, mereka siap untuk menemani Kresna.

Bukan sekali dua kali, Kresna seperti ini. Jika kedatangan Zwen ke rumahnya, pasti Kresna akan berubah menjadi monster yang mengerikan.

🍒🍒🍒🍒🍒

Valerie dengan sekuat tenaga menahan kantuk saat Xaverio menjelaskan materi untuk bahan ujian besok.

Xaverio terkekeh, dia mengelus rambut Valerie, "Tahan, sweety. Sebentar lagi beres. Nanti kamu boleh tidur."

"Apa nggak produktif kalau belajarnya disaat aku sudah mengatuk kayak gini, Xav?"

"Kalau bukan karena Liam atau om Sam, Aku nggak akan biarin kamu kayak gini. Ini tuntutan sekaligus perintah, Sweety."

Valerie berdecak. Ia kembali menjatuhkan kepalanya di lipatan tangan. Xaverio merasa kasihan, mau bagaimanapun materi tidak akan masuk ke otak Valerie jika Valerie jiwanya sudah di tempat tidur.

Xaverio mengecup rambutnya, "Yasudah, sana ke kamar. Biarin aku yang beresin ini semua."

"Really?"

"Iya."

Valerie senang, ia segara memeluk Xaverio. Ia dengan cepat berlari ke atas, masuk ke dalam kamarnya. Xaverio hanya menggeleng kepalanya, ia merapikan buku-bukunya.

🍒🍒🍒🍒🍒

Taksa dan Albar tidak bisa menahan Kresna untuk berhenti minum. Dia mengumpat, menendang, dan membanting apapun yang bisa ia gapai. Amarahnya tertuju untuk Zwen. Ayah sialan yang pernah ia temui!

"Sejak kapan Om Zwen ada di Indonesia?" Tanya Taksa natap Albar bingung.

"Gue pun nggak tau. Kedatangan dia selalu mendadak, Sa. Dan selalu kayak gini, habis ketemu Om Zwen, nih anak setan kalut."

Taksa mendesis pelan, dia menahan Kresna untuk berhenti. Dengan kuat, Kresna mendorong jauh tubuh Taksa.

"Kenapa bisa nyokap gue mau aja sama tuh cowok brengsek, anjing!"

"Karena cinta, Kresna."

Kresna menendang meja, "Cinta cinta tai anjing! Bangsat! Gue selalu berdoa dia cepat mati! Biar gue nggak terbebani kayak gini, monyet!"

Teriakan Kresna tak terdengar jelas karena suara hentakan musik DJ yang menggema di club.

"Gue sama sekali nggak sudi! Di sangkut pautkan sama anak haram itu! Anjing!"

Satu fakta lagi, Taksa dan Albar saling pandang satu sama lain. Nggak mungkin Felicite, dia masih seumur jagung. Dan nggak mungkin sampai Kresna membabi buta seperti ini.

"Kayaknya gue harus telpon Valerie."

"Ide bagus dan jelek. Kita nggak tau Valerie bisa nahan Kresna atau nggak."

Albar berdecak, "Kita belum mencoba, Sa. Gue nggak rela liat nih anak menderita kayak gini."

Taksa terkesima melihat raut khawatir Albar. Jarang sekali Albar peduli akan mereka, dia slalu menampilkan wajah bercandanya.

[Quille 1: Valveta] END •ON REVISI•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang