83. Deeply

1K 126 149
                                    


Valerie mengantarkan Naura dan Zwen ke pintu kamar. Melambaikan seraya mengucapkan kalimat, Hati-hati. Valerie memang meminta mereka untuk beristirahat di Rumah saja. Membiarkan dirinya yang akan berjaga malam ini.

Pintu tertutup lagi, Valerie berjalan dengan senyuman khasnya. Duduk di samping tubuh Kresna. Menggenggam tangannya, tak lupa ia elus. Sendari tadi memang Kresna nampak gelisah. Ia tau, ia peka.

"Kamu kalau lagi mikirin sesuatu, kening kamu berkerut, Tiger." Valerie mengelus guratan kening. "Don't too much thinking."

Kresna tersenyum, ia menarik tangan Valerie di keningnya, lalu ia genggam dan diletakan di atas dada bidang.

"Aku tau ketakutan kamu sering muncul. Tapi aku yakin, kita bisa lalui ini. Kamu harus semangat."

Kresna diam, hanya menatap Valerie dalam.

"I'm always here. We are too."

Kresna tersenyum tenang.

Ketukan pintu terdengar, "Wait, Tiger." Valerie mengecup bibir Kresna, ia berjalan membuka pintu. Kresna mengikuti arah pandang padanya.

Valerie cukup terkejut melihat siapa yang datang. "Lo abis berantem sama siapa lagi?"

Kresna menatap penasaran. Ia tak bisa melihat siapa yang datang, tubuh Valerie menghalanginya.

"Albar, gue nggak mau Kresna khawatir lihat lo gini." Valerie melirik ke arah Kresna, lalu balik menatap Albar, "Jangan buat dia kepikiran tentang keadaan lo sekarang."

"Gue mau ketemu dia, Val. Pengen tau keadaannya juga. Gue nggak percaya kabar dari Taksa sebelum memastikan secara langsung."

Valerie mengalah saja, ia memberi ruang untuk Albar masuk.

Albar berdiri tak jauh dari ranjang Kresna. Tatapan langsung terjatuh ke arah Kaki Kanan. Namun ia segera menunduk lagi.

Kresna menatap dari bawah hingga atas. Penampilan Albar jauh dari kata Tuan Muda Jaxton. Albar terlihat kacau, lemah, rapuh. Apalagi rambut berantakan sekali, luka lebam di sekitar wajah, sedikit kumis tipis yang biasanya slalu ia cukur. Ia sudah lama tidak melihat Albar dengan kondisi gini.

"What's happened, Boy?"

Albar menggeleng, ia terkekeh, menyeka darah kering di ujung bibirnya, "Abis sparring  biasa."

"Bukan sparring." sargah Kresna tau Albar berbohong, ia menatap Valerie, seolah meminta izin untuk bicara empat mata dengan Albar.

Valerie tersenyum, ia menepuk bahu Albar, "Gue tinggal dulu, ya."

Setelah kepergian Valerie, Albar menatap sekilas kaki kanan Kresna lagi. Cukup membuat ia bergetar ketika mendapat kabar jika Kresna lumpuh sementara.

"Iya, gue lumpuh, Al." Tukas Kresna mengetahui isi pikirannya, "But, never mind. Gue terima apapun itu. Kemungkinan besar gue bisa jalan normal lagi."

"Bisa nggak tukeran sama gue posisinya?"

"Maksudnya?"

Albar nunduk menyengkram rambutnya. Ia menggeleng, "Rasanya emang gue nggak bisa lihat lo terbaring kayak gini, Na. Jujur. Gue tahan dari dulu, nyatanya gue nggak bisa. Lo buat gue khawatir, Na, Anjing."

Kresna diam.

"Satu bulan lebih lo koma, terus sekarang ada aja yang ngebuat lo menderita." Albar menegakkan kepalanya, "Gue serakah ya, Na. Gue minta sama Tuhan buat lo sadar, dan sekarang gue minta lagi sama Tuhan buat lo bisa jalan lagi. Tapi gue pendosa."

[Quille 1: Valveta] END •ON REVISI•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang