79. Don't Worry, Darling

1K 133 49
                                    


Valerie menangis di dalam pelukan Xaverio. Naura bahkan duduk lemas seraya menyandar pada Zwen. Berbeda dengan Felicite yang terpaksa harus dibawa menjauh dari lorong kamar Kresna.

Felicite menangis ketika Albar menggendong menuju taman Rumah Sakit. Memeluk leher Albar, seraya bersembunyi di leher jenjangnya.

"Abang bakal bangun, Princess. Jangan khawatir." bisik Albar tenang, "Abang kan belum liat penampilan kamu tadi, pasti dia bangun. Nggak mungkin Abang pergi, 'kan?"

"Ta-tapi Om Eiljah belum keluar-keluar, Kak Al. Abang kenapa belum sadar juga?"

"No, Princess." Albar duduk di kursi kayu panjang menghadap air pancuran. Felicite ia dudukan di atas pangkuan dengan Auris setia di sampingnya. "Abang nggak akan ingkar."

Felicite menenggakkan kepala. Menatap Albar ragu akan ucapannya. Albar tersenyum, mengelus pipi gembul favorit semua orang, "Percaya, ya. Abang nggak akan pergi ninggalin Fizzy."

Felicite menunduk, ia kembali menyandarkan kepala pada dada bidang Albar. Memeluk tubuh liat agar ia merasa aman.

Auris tersenyum kecil melihat perlakuan Albar pada Adik kesayangan sahabatnya itu. Membuat hatinya menghangat, Albar mampu menenangkan Felicite dengan aura lembutnya.

"Tetap berdoa, Princess." ucap Auris mengelus rambut Felicite.

Kepala Albar menoleh ke arah Auris yang sedang menatap lamat Felicite. Sungguh, ia bodoh sekali jika harus menyia-nyiakan perempuan sabaik Auris.

"Kalian jangan panik."

Tutur Taksa menatap pintu putih dengan kosong. Kedua tangan ia genggam dan ditekuk di atas lututnya.

"Kresna nggak akan mati di sini. Kresna nggak akan nyerah buat kita." tegas Taksa tanpa ekspresi.

"Sa..."

"Nggak, Ze." sorot mata Taksa beda dari biasanya, "Kita nggak boleh pasrah. Kita harus berdoa buat Kresna. Kresna punya alasan kuat untuk tetap bertahan.  Bukan tipekal dia meninggalkan sesuatu hal yang ingin dia raih."

Zwen menatap tegas Taksa. Hanya Taksa yang paling tenang di antara semuanya. Hanya Taksa yang berani mengutarakan hal ini. Hanya Taksa yang mampu menggetarkan hatinya sejak hari pertama Kresna berbaring. Taksa mampu membuat suasana terkendalikan.

"Kresna nggak akan pergi sebelum apa yang ia inginkan terwujud." lanjut Taksa menatap Zwen menusuk. "Kresna pasti sadar."

"I hope so." timpal Zeroun mengusap wajah kasar

Zwen semakin terdiam. Ia memejamkan mata sekilas, sebelum membuang arah pandang dari Taksa. Kembali mengecup kepala sang Istri.

Eiljah keluar, melepas masker hijau. Tatapan lega ia lontarkan kepada mereka yang berharap banyak padanya.

Semua mendekat ke arah Dokter kepercayaan Gibson.

"Kresna kembali stabil meskipun irama jantung berdetak cukup lemah dari sebelumnya." jelas Eiljah membuat siapa yang mendengarnya merasakan kelegaan, "Langkah awal yang baik untuk kita semua. Kita mendapat secercah cahaya untuk ia sadar."

Tak ada yang menghela nafas selega mungkin.

"Kresna bakal sadar, 'kan, Eiljah?"

Eiljah mengangguk mantap, "Tetap berdoa dan beri dia semangat. Saya yakin seratus persen Kresna ngedenger apa yang kita omongin." lanjut Eiljah menepuk bahu Naura, "Kabari saya kalau terjadi sesuatu. Seperti biasa kalau ingin menjenguk bergantian."

"Terimakasih, Eiljah. Terimakasih."

"Jangan mengucapkan kata terimakasih, sebelum Kresna tersadar sepenuhnya." jelas Eiljah menatap Zwen dan Naura bergantian. "Saya pamit."

[Quille 1: Valveta] END •ON REVISI•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang