Chapter 34

396 63 17
                                    

Dua hari kemudian...

"Ibu, bisakah Ibu memotong sedikit rambutku?" tanya Beatrix.

Narcissa mengernyitkan dahinya. "Memotong?" katanya. "Kenapa?"

"Ini sudah terlalu panjang," kata Beatrix, meraih rambutnya. "Sudah sampai pinggang. Potong sedikit saja."

Narcissa mengangguk kecil, kemudian meraih tongkatnya dari balik jubah mewahnya. Tongkatnya berwarna hitam dengan pangkal perak keemasan dan bintik-bintik perak tertata rapi, elegan, dan terlihat mewah. Tongkat itu mengilap ketika terkena cahaya, membuatnya semakin indah.

"Tongkat punya Ibu bagus sekali," kata Beatrix, yang baru pertama kali melihat tongkat Narcissa.

Narcissa tertawa kecil mendengarnya. Kemudian dia membalikkan badan keponakannya, melambai dan menggumamkan mantra ke arah rambut keriting itu. Rambut itu panjangnya pun berubah, dari sepinggang menjadi sepunggung.

"Apakah seperti ini?" tanya Narcissa.

Beatrix meraih belakang kepalanya. Meraba-raba rambutnya dari pangkal sampai ke ujung untuk memastikan seberapa panjangnya, apakah berubah atau tidak?

"Yahh," katanya akhirnya. "Terima kasih, Ibu."

"Sama-sama," balas Narcissa, memasukkan tongkatnya lagi ke dalam jubahnya.

"Wah, rambut baru," celetuk Draco.

"Kau mau rambut baru juga?" kata Beatrix dengan nada mencibir.

"Er—tidak," kata Draco.

Beatrix memutar bola matanya malas. "Well, come on, Draco," ajaknya, dia melangkah mendekati sepupunya dan menarik tangannya.

"Aishh, kau mau membawaku ke mana, Bee?" tanya Draco.

"Ke kuburan," jawab Beatrix sinis. "Ya, ke taman lah!"

Draco menggerutu dengan cara sepupunya menariknya. Dia merasa seperti hewan yang ditarik secara paksa oleh majikannya.

"Bisakah kau melepaskan aku? Aku bisa jalan sendiri!"

Beatrix melepaskannya, benar juga apa yang dikatakan sepupunya. Ngapain juga dia repot-repot harus menariknya.

Draco mencibir sambil membenarkan pakaiannya. Dia melangkah di belakang sepupunya, menuruni tangga di halaman depan. Kemudian berjalan ke halaman.

"Draco, tidak bisakah kau mendukungku?" tanya Beatrix tiba-tiba.

Draco mengernyitkan dahinya tak mengerti. "Mendukungmu?" ulangnya. "Apa maksudnya itu?"

"Huft... maksudku bisakah kau mendukungku dalam hal kemurnian darah?" kata Beatrix, dia masih bimbang dengan pilihannya.

Draco langsung berubah dingin. "Tidak," katanya singkat. "Kau sudah berjanji dan itu tak boleh kau ingkari, Beatrix."

"Tapi—tapi bagaimana kalau...," kata Beatrix cemas.

"Semua akan baik-baik saja," potong Draco. Dia maju selangkah, kemudian berbisik tepat di telinga sepupunya, "Darah kita akan tetap murni walau kita jadi pengkhianat. Toh itu hanya sebutan, kan? Walau begitu, darah yang mengalir dalam diri kita ini akan tetap murni, selamanya murni."

Beatrix menghela napas panjang. Dia sangat tidak yakin dengan keputusannya. Ibunya pasti marah besar kepadanya jika ibunya itu tahu bahwa dia mengkhianati darahnya sendiri.

"Aku takut dengan Mama," cicitnya.

Draco menarik dirinya menjauh dari sepupunya, kemudian menatap wajah pucat sepupunya. "Yah, ibumu itu memang mengerikan," katanya.

Beatrix Lestrange [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang