Chapter 47

355 59 17
                                    

Hari demi hari berlalu begitu lambat. Kenapa lambat? Karena Beatrix semakin tak sabar menanti kebangkitan sang Pangeran Kegelapan, dia membutuhkan Pangeran Kegelapan untuk membebaskan ibunya.

Hanya Pangeran Kegelapan-lah yang bisa membebaskannya. Maka dari itu Beatrix dengan setengah jiwa berharap bahwa Pangeran Kegelapan kembali, tetapi setengahnya lagi—dia tak mau Pangeran Kegelapan kembali.

Karena ibunya pasti akan mengabdi kepada sang Pangeran Kegelapan, selamanya. Ibunya tak cukup berani untuk kabur, Tanda Kegelapan sudah ada di lengan kirinya. Jadi, Beatrix harus mencabut Tanda itu dan membebaskan sang ibu dari jeratan janji dan sumpah.

Tapi bagaimana? Bagaimana caranya? Sementara ibunya masih di Azkaban. Dia butuh Pangeran Kegelapan untuk membebaskan ibunya. Dia hanya butuh itu, selebihnya dia tak membutuhkannya.

Lagian Pangeran Kegelapan pasti akan memperlakukan pengikutnya dengan sangat tidak layak. Bagaimana bisa penyihir itu memperlakukan penyihir darah-murni seperti peri-rumah? Bukankah itu sangat kurang ajar?

Beatrix terus berpikir setiap malam hingga kantung matanya menghitam. Apakah dia harus bertanya kepada Dumbledore soal pencabutan Tanda Kegelapan itu? Jika sekarang, ini bukan waktu yang tepat. Dumbledore bisa mencurigainya. Ini bahaya, ini bisa menggagalkan rencana Barty Crouch Jr., dan semua akan gagal total. Bisa-bisa Pangeran Kegelapan tak jadi bangkit, lebih parah lagi bahwa ibunya akan tetap di Azkaban.

Ini sudah dua minggu, dan mata gadis itu semakin menghitam, kali ini menjadi sangat jelas.

"Kau seperti orang sakit," kata Draco, pada suatu pagi hari di ruang rekreasi. "Ayo kita ke Hospital Wing."

"Aku tak apa-apa, Draco," kata Beatrix lemah. "Aku hanya kurang tidur. Aku begadang."

"Untuk apa begadang kalau tidak ada gunanya?" kata Draco, nadanya naik satu oktaf.

"Aku kan harus belajar," Beatrix berbohong.

"Ujian masih lama!" kata Draco geram. "Ayo ke Hospital Wing! Atau aku akan menghubungi Ayah?!"

Beatrix berdecak kecil, bisa repot kalau sampai Lucius tahu. Akhirnya dia mengalah.

"Sepupu pintar," Draco mencibir.

Beatrix memutar bola matanya malas. Sepupunya itu mulai menggandengnya, kemudian mereka pun berjalan pergi meninggalkan ruang rekreasi.

"Hari ini tak perlu masuk kelas. Aku akan izinkan kau," kata Draco pelan.

"Thanks, Sepupu," kata Beatrix.

"Heumm," balas Draco.

Mereka berjalan dalam diam. Draco semakin mengeratkan genggamannya ketika merasakan suhu tangan sepupunya sedikit panas. Dia mempercepat langkahnya.

"Pelan-pelan, Draco," kata Beatrix, dia tampak lelah untuk berjalan cepat.

"Hampir sampai... lima meter lagi...," kata Draco.

Beatrix menghela napas panjang. Dia memaksakan diri untuk bertahan, masa segitu saja tidak kuat? Kan itu memalukan, pikirnya.

"Madam Pomfrey?" kata Draco, setelah menbuka pintu rumah sakit.

"Yaa?" jawab Madam Pomfrey, dia keluar dari balik tirai pasien. "Oh, kalian berdua..."

"Madam, sepupuku sakit," kata Draco, membawa sepupunya ke salah satu bangsal kosong di sana. "Periksa dia, Madam..."

"Baik, sebentar, aku harus menyelesaikan kegiatanku dulu," kata Madam Pomfrey kembali masuk ke dalam tirai.

"Bee, kau harus sembuh, oke?" Draco menuntut. "Kalau tidak, aku akan kesepian. Gak ada lagi yang mengataiku Ferret."

Beatrix Lestrange [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang