"Tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan---bahkan di setiap detiknya, kecuali Sang Pencipta itu sendiri."
---StarSea25---
♥♥
Arnav melihat seorang perempuan cantik tengah menunduk sambil memegang gelas es krim di hadapannya dengan kening berkerut samar. Melihat tangan perempuan itu gemetar ketakutan membuat Arnav memicingkan mata kesal. Apa wajahnya seburuk itu sampai perempuan itu enggan menatapnya?
Jerry mengepalkan tangannya tanpa sadar. Ia menatap remaja perempuan itu dengan sorot khawatir. Membuat masalah dengan seorang Arnav Mikhelson ... apa perempuan itu sudah gila? Ia hanya bisa berdoa semoga bosnya tidak membalas dengan kejam sikap tidak sopan remaja perempuan itu.
Kaki panjang Arnav melangkah perlahan, mendekati remaja perempuan itu. Ia menaikan sebelah alisnya saat teman-teman perempuan itu---bahkan semua orang berdiri sambil menatap mereka khawatir. Ah, tidak. Lebih tepatnya ke arah perempuan di hadapannya ini. Memangnya apa yang harus dikhawatirkan? Namun Arnav tidak ambil pusing. Fokusnya adalah perempuan cantik yang entah sejak kapan telah menarik perhatiannya tersebut. Kini, Arnav berdiri di hadapan Vee yang masih menunduk. Membiarkan mereka menjadi pusat perhatian.
Merasakan ada seseorang di hadapannya, Vee mengangkat kepalanya perlahan. Iris biru itu membuatnya tertegun. Ia tidak pernah melihat mata seindah itu. Like a sea's blue, pikirnya dalam hati. Tersadar akan kebodohannya, Vee kembali menunduk sambil merutuk kecerobohannya dalam hati. Bodoh!
Ekspresi Arnav mungkin datar. Tapi, iris birunya berkilat geli akan sikap Vee yang menggemaskan. Ia menyorot penuh ketertarikan. Tidak ada yang menyadarinya, kecuali Jerry.
Jerry bahkan sampai tertegun melihat kilatan itu di mata bosnya. Bersama Arnav selama enam tahun membuat Jerry mengerti bahwa bosnya itu amat sangat tertarik dengan perempuan cantik di hadapannya itu. Ia menatap Arnav dan Vee bergantian, mengulum senyum penuh arti. Mungkinkah ...?
"Sorry, Sir ...," cicit Vee pelan.
Arnav bersidekap, menatap perempuan itu penuh minat meski ekspresinya tetap datar.
"Pakaian Anda kotor karena saya ...." Vee pelan menunjuk minuman coklatnya yang mengotori sebagian besar pakaian lelaki itu. Ia meletakan gelas di tangannya pada meja yang terletak tidak jauh dari posisinya saat ini. Lalu, mengeluarkan sebuah sapu tangan kesayangannya. Ia menatap canggung. Tersenyum kaku, ia menawarkan diri. "May I clean it, Sir?"
Alis Arnav terangkat naik, menyorot tertarik. Lalu, menutup mata seolah mengizinkan perempuan itu untuk bertanggung jawab atas kecerobohannya.
Vee mendekat, membersihkan wajah tampan di depannya penuh kehati-hatian seolah wajah Arnav adalah benda termahal di dunia. Hatinya berdebar. Ia masih waras untuk menikmati hasil ciptaan Tuhan yang sempurna ini. Vee mengerjap sebelum kembali fokus untuk membersihkan rambut, wajah dan jas mahal lelaki itu. Untuk sesaat, Vee merasa tidak asing dengan wajah lelaki itu---seperti pernah melihatnya. Tapi, di mana?
Merasakan usapan lembut di rambut, berpindah ke wajahnya, membuat Arnav merasa nyaman dan tenang. Ia membuka mata, menatap iris hitam bening itu lekat. Tak lama, pandangan mereka bertemu. Terkunci satu sama lain. Memenjarakan.
Untuk pertama kalinya, Arnav tidak merasakan perasaan jijik saat berdekatan dengan makhluk berjenis kelamin perempuan. Dadanya berdegup kencang, namun anehnya ia menyukainya. Ia menyukai perasaan asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ada apa dengannya?
Suara deheman canggung milik Jerry terdengar menyadarkan keduanya. Arnav sangat pandai menyembunyikan emosinya. Berbeda dengan Vee yang langsung merona salah tingkah karena malu sebelum kembali melanjutkan tanggung jawabnya yang sempat tertunda dengan cepat.
"Pertemuan Anda dengan Presiden Indonesia akan berlangsung tiga puluh menit lagi di Mikhelson Corp, Sir. Saya juga sudah meminta Jeremy membawakan pakaian baru untuk Anda." seloroh Jerry mengingatkan.
Sebenarnya ia tidak ingin men-skip adegan romantis bosnya itu. Namun sebagai seorang asisten sekaligus sekretaris, ia harus melaksanakan pekerjaannya dengan baik bukan?
"Hem." gumam Arnav bertepatan dengan selesainya kegiatan perempuan itu.
Arnav memutar tubuh, bersiap pergi namun sebuah suara yang mendayu lembut menghentikan langkahnya.
"Sir ...."
Arnav menoleh, menatapnya dengan alis terangkat.
"Maafkan saya. Pakaian Anda kotor karena saya." sesal Vee.
"It's okay." tukas Arnav dingin.
Vee menunduk, gemetar pelan. "Ta-tali sepatu Anda tidak terikat dengan baik. saya mengejar Anda untuk mengatakan itu, tapi malah saya..., saya membuat Anda kotor." lirihnya.
Arnav menurunkan pandangannya, melihat tali sepatunya. Ia berjalan, kembali berdiri di hadapan Vee. "Kalau begitu. Ikatkan tali sepatu saya." perintahnya tegas.
Hening.
Jerry terlonjak kaget mendengar perintah kejam bosnya. Sepertinya, pemikiran jika Arnav menyukai Vee adalah kesalahan besar.
Vee membulatkan mata, tampak sangat menggemaskan di mata Arnav. Terlebih dengan sisa coklat yang masih menempel di sekitar bibirnya.
Semua orang di Coffee Shop terbelalak tidak percaya.
Nathan mengepalkan tangan dan ingin menghampiri mereka, namun Brenda menahan lengannya. "Orang itu sudah keterlaluan! Dia meminta Vee melakukan tugas seorang pelayan!" geramnya.
"Aku tahu, Nath. Tapi, kau bisa terkena masalah jika berurusan dengan lelaki itu!" sungut Brenda kesal.
"Persetan! Aku tidak peduli!"
"Arnav Mikhelson. Putra Mahkota Mikhelson family. CEO sekaligus pemilik Mikhelson Corporation. Pewaris tunggal Mikhelson Internasional." terang Albert datar, mendapat anggukan kepala dari teman-temannya.
Nathan terbelalak tidak percaya. Ia menatap punggung kecil Vee dengan sorot tidak berdaya. Mereka tidak bisa menolong Vee. Arnav Mikhelson bukanlah sesuatu yang bisa mereka lawan, meski beramai-beramai. Mereka hanya bisa berharap semoga Vee baik-baik saja.
Melihat tingkah anarkis remaja lelaki yang berpakaian sama dengan perempuan di hadapannya, membuat kening Arnav berkerut samar. Apakah bocah ingusan itu adalah kekasih perempuan ini?
"Kenapa? Keberatan?" ketus Arnav. Ia merasa kesal sendiri akan pemikirannya tentang perempuan itu yang sudah memiliki kekasih.
Vee menggeleng. Ia menundukan tubuhnya dengan berat hati, melakukan perintah lelaki itu dengan baik dan benar. Lalu, kembali berdiri, menunduk takut setelah selesai.
"Anda juga mengotori pakaian saya."
Arnav membuka jas mahalnya. Semua perempuan di Coffee Shop memekik tertahan saat otot lengannya menyembul terlihat. Termasuk Brenda dan Lucy yang langsung menciut setelah mendapat pelototan tajam Albert dan Jason, kecuali Vee. Ia menunduk sambil menutup mata saat mendengar nada tajam lelaki itu. Ia tidak tahu apa yang terjadi.
"Cuci. Dengan tangan Anda sendiri. Video. Berikan pada saya secepatnya!" perintah Arnav terdengar di sertai dengan lemparan jas mahal ke arah perempuan itu.
Refleks, Vee menerimanya sebelum jatuh ke lantai. Ia menatap lelaki itu horor, menelan ludah takut.
Arnav memutar tubuh, hendak pergi---namun kembali menoleh ke belakang. Ia menatap seorang lelaki di belakang perempuan itu dengan seringaian licik di bibir. Ia kembali berdiri di hadapan perempuan itu. Melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak pernah menduga akan melakukannya.
Vee waswas. Ia membulatkan mata saat untuk pertama kalinya merasakan sesuatu yang dingin menyentuh bibirnya, membersihkan sisa coklatnya. Ia melupakannya sisa coklat di sekitar bibirnya!
"Silly, Little girl." gumam Arnav datar. Lalu, berjalan keluar Coffee Shop dengan senyuman puas saat melihat tangan remaja laki-laki itu mengepal kuat---menahan marah.
Kau kekasihnya? Jangan bercanda. Dia adalah kucing kecilku. Milikku!
Eh ...?
♥♥
HOPE YOU LIKE IT!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mr. OPPO [NEW]
RomanceMy Mr. Over Possessive and Over Protective "You Complete Me~" ---ARVEE--- *** Pertemuan tidak terduga di suatu Kafe membuat Arnav Mikhelson menyukai Victoria Mikhailova pada pandangan pertama. Lelaki tampan itu mengklaim jika perempuan itu adalah ku...