( 60 ) GURAT GUNDAH

1.1K 120 11
                                    

Keluar dari loby rumah sakit, Arilla yang dipapah kedua orang tuanya melihat Aryan sudah menunggu di depan pintu utama. Pemuda itu segera menghampiri, lalu dengan sigap meraih tas berisi barang-barang Arilla yang dibawa Ray. Pemuda itu menatap Arilla yang tampak memandangnya juga.

"Ayo kita pulang!" Aryan tersenyum penuh semangat.

Wajah Arilla yang semula bersemu khawatir perlahan mencair. Senyum kecilnya merekah melihat Aryan yang tampak riang.

Mereka segera beranjak menuju mobil. Aryan sendiri yang mengemudi. Sepanjang perjalanan mereka lalui dengan mengobrol ringan. Meski berusaha memancing agar Arilla mau berinteraksi, tapi nyatanya gadis itu hanya membisu saja. Diam seribu bahasa dengan tatapan mata kosong.

Tiba di rumah, Aryan sendiri yang mengantar Arilla ke kamarnya.

"Selamat datang Nona Arilla. Mulai hari ini, kamu bisa ketemu aku kapanpun kamu mau," canda Aryan seraya membukakan pintu kamar untuk Arilla.

Gadis itu melangkah dengan ragu-ragu. Aryan menuntunnya hingga duduk di tempat tidur. Pemuda itu berjongkok di hadapan Arilla. "Kalo kamu ga nyaman tinggal di kamar ini, jangan sungkan bilang sama aku. Masih ada kamar lain. Atau mungkin kamu mau tinggal di kamar aku yang ada di lantai atas? Kamar aku jauh lebih luas dari kamar ini. Aku bisa pindah ke kamar lain."

Arilla menatap Aryan seksama, lalu tersenyum samar seraya menelengkan kepala. "Aku di sini aja."

"Yakin?" Aryan ingin memastikan.

Arilla mengangguk.

"Ya udah. Sekarang kamu istirahat dulu. Butuh sesuatu?"

Arilla menggeleng saja.

"Ok. Kamu istirahat aja ya?" Aryan bangkit. Lalu membereskan bantal untuk Arilla bersandar ke kepala ranjang.

"Yan." Gadis itu memegangi lengan Aryan.

"Kenapa, Sayang?"

"Apa kamu bener-bener enggak apa-apa?"

"Apa maksud kamu?" Aryan balik bertanya.

"Pernikahan Mama dan Papa kamu. Aku rasa ----"

"Rill ...." Aryan menyela kalimat Arilla hingga gadis itu terdiam. Pemuda itu duduk di sebelah Arilla seraya menggenggam tangan gadis itu.

"Aku sudah tau semuanya. Papa dan Mama pernah menikah di masa lalu. Mereka masih saling mencintai. Aku enggak pernah ngerasa keberatan. Aku justru lega, karna sekarang ada Papa yang bisa selalu jagain kamu sama Mama kamu." Aryan tak menyinggung sama sekali perihal kebenaran jika alasan utama kedua orang tua mereka menikah adalah karna Arilla merupakan anak kandung Ray.

Arilla terdiam dengan wajah tertunduk. Ada rasa tak nyaman yang ia rasakan terus menggelayuti pikirannya.

"Jangan mikir macem-macem. Apapun yang terjadi sekarang, aku tetaplah lelaki yang sama. Akan selalu mencintai kamu. Enggak ada yang berubah," sambung Aryan.

Arilla terdiam. Ia tidak tau Aryan mengatakan semua itu hanya untuk menghiburnya atau sungguh-sungguh dari lubuk hati.

Aryan bisa menangkap jelas gurat gundah dari wajah sang kekasih.
"Apa yang kamu pikirkan?"

Arilla menoleh untuk menatap Aryan. "Enggak ada. Aku hanya takut bikin kamu enggak nyaman karna kehadiran aku dan Mama di rumah ini."

"Heyy ...." Aryan menyela cepat. "Pikiran konyol macam apa itu?"

"Hem ... aku beneran khawatir." Arilla kembali menundukkan wajahnya.

"Aku bisa liat kamu tiap waktu. Bisa jagain kamu tiap saat. Justru aku ngerasa lega." Aryan kembali meyakinkan. "Udah, ya? Jangan mikir aneh-aneh. Daripada kamu mikir yang enggak-enggak, mending kamu istirahat."

ARYAN (tamat) Lengkap ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang