“Mau bagaimanapun mereka mencoba memisahkan kita, jika kita ditakdirkan bersama, mereka bisa apa?”
~A Y A N A~
"Pasien telah melewati masa kritisnya, sekarang hanya tinggal menunggu siuman."
Semua orang bernafas lega kala mendengar pernyataan Dokter mengenai kondisi Rangga. Semalaman hati mereka dilanda kegusaran, sekarang mereka bisa tenang karena Rangga baik-baik sajar.
"Lo gamau istirahat dirumah aja?" tanya Alfan kalau melihat Ayana yang nampak tak bertenaga.
Ayana yang sedari tadi menyandar pada dinding rumah sakit dengan tatapan kosong itu langsung menoleh lalu menggeleng sebagai jawaban. "Gue mau nunggu Bang Rangga bangun dulu."
"Lo harus pikirin kondisi lo juga. Liat, lo babak belur kaya gini masih mau ngeyel?"
Bulir bening mengalir membasahi pipi Ayana tanpa permisi. Tidak peduli jika nanti Alfan akan mengatainya cengeng atau lebay, yang jelas sekarang Ayana benar-benar sangat sedih. Begitu banyak masalah yang akhir-akhir ini terus datang menyapa, dan Ayana tidak sanggup.
"Gapapa, keluarin aja. Gausah ditahan, gue ngerti kok," Alfan menarik Ayana kedalam dekapannya.
"Gue capek Fan, gue ngerasa masalah hidup gue gak pernah berkurang. Mulai dari teror sampe kejadian semalem, itu semua gaada habisnya. Gue capek," isak tangisnya benar-benar memilukan bagi siapa saja yang mendengarnya.
Alfan melirik Caca yang duduk di kursi depan tepat didepannya. Gadis itu juga sama kacaunya, dengan rambut acak-acakan dengan jejak air mata di pipinya.
"Caca, kamu gapapa sayang?"
Ayana langsung menoleh saat mendengar suara Arin memenuhi lorong rumah sakit yang cukup sepi. Senyum getir terlukis diwajahnya, tentu saja Caca akan menjadi prioritas bagi ibunya itu.
"Aku gapapa Ma, tapi Bang Rangga... dia masih belum sadar." Jawab Caca terbata.
"Rangga pasti bangun, dia anak yang kuat."
Perlahan Arin mendekat pada Ayana yang masih dalam dekapan Alfan. Paham akan situasi, Alfan hendak melepaskan Ayana, tapi gadis itu mengeratkan pelukannya seakan mengatakan dia tidak ingin ditinggalkan.
"Sayang, gimana kondisi kamu?"
Netra Ari menangkap perban yang menbalut tangan kanan Ayana, juga banyaknya noda darah pada piyama yang dikenakan Ayana. "Sayang, kamu gapapa kan?"
Ayana tidak berniat menjawab pertanyaan Ibunya, dia semakin mengeratkan pelukannya pada Alfan. "Ayana dapet empat jaitan di pinggang sama tiga jaitan di tangan Tante," jawab Alfan. Dia merasa tidak enak pada Arin karena diacuhkan.
Tangan Arin terulur mengelus surai panjang Ayana dengan air mata yang sudah mengalir deras. "Maafin Mama sayang, Mama gak bisa jagain kamu."
"Maafin saya yah Alfan, saya banyak ngerepotin kamu." Ucap Arin pada Alfan.
Tak lama Arin bangkit untuk menerima telfon, perempuan itu sedikit menjauh. Hanya sekian menit Arin kembali sembari berpamitan untuk menjemput Deril di Bandara.
"Kalian berdua mending pulang deh, bersih-bersih, makan, terus istirahat. Biar gue yang nunggu Rangga. Gue udah pesenin taxi, bentar lagi sampe," kata Alfan pada dua gadis yang hanya berbeda satu tahun lima bulan.
Baik Ayana maupun Caca mengangguk mengiyakan. Mereka lelah dan sangat butuh istirahat, mungkin tidur sebentar bisa memulihkan tenaga mereka yang sempat terkuras akibat semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Y A N A (Revisi)
Teen Fiction[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA] ~ Bukan tanpa alasan orang tua dari Ayana Xaviera Anastasya ingin sekali menjodohkannya dengan anak dari sahabat mereka yaitu, Alfan cam Fraklin. Orang tua Ayana menganggap, jika Ayana bertunangan mungkin gadis itu akan ad...