16. Derita

454 123 226
                                    

Rate: 18+++
Bab ini akan membuka mata kalian bahwa seburuk-buruknya orang, pasti dia juga gak mau dipandang buruk oleh orang lain. Keadaan itu yang sering terjadi di lingkungan kita. Kita gak tau kan luar dan dalam orang terdekat kita meskipun kita sudah mengenalnya bertahun tahun. Mata kita dua untuk lebih banyak melihat, melihat dari berbagai sudut pandang bukan hanya sebatas apa yang kita lihat saja. Telinga kita harus lebih banyak mendengar, kepekaan terhadap orang-orang rapuh yang selalu berhasil membohongi kita dengan perkataannyan yang selalu bilang i'm oke, i'm fine, gakpapa, aku baik baik aja.

Tau gak sih kalau orang jahat itu gak mau dirinya dibilang jahat? ya memang setiap manusia juga gak mungkin punya cita cita menjadi orang jahat. Orang-orang sekitarnyalah yang mendorong dia berbuat jahat, tidak ada yang mencoba memahami dirinya. Semua orang percaya pada apa yang mereka lihat bukan berdasarkan apa yang mereka dengar dari orang itu sendiri. Banyak yang tersakiti karena mereka merasa diasingkan, dianggap dan dicap buruk seolah mereka itu satu satunya pendosa di dunia ini.

▪▪▪▪▪

Hampir petang dia baru kembali. Nay membuka pintu rumah, sosok paruh baya berperut buncit, berkumis tipis dan berperawakan sangar muncul di depannya. Mata Nay membulat sempurna, Patrio telah kembali dari Batam setelah enam bulan pergi tanpa kabar. Yuli berdiri dibelakang ayahnya, tersenyum ceria berbeda dari biasanya. Menunggu suaminya pulang mungkin jadi hal yang melelahkan selain mengurus rumah, dia tipe perempuan sabar dan sayangnya...kesabaran yang ia miliki selalu dimanfaatkan Patrio.

"Habis darimana sayang?" Patrio mencoba meraih tubuh Nay, tapi Nay cepat menghindar menerobos masuk ke dalam rumah dengan gerakan panik dan matanya menyiratkan ketakutan yang tak bisa dijelaskan pada siapa pun.

"Nay?! Nay, ini ayah kamu pulang kok kamu gak salam dulu? Nay?!" panggil Yuli, dia heran kenapa putrinya itu selalu menunjukan sikap yang aneh pada Patrio padahal sebelumnya baik-baik saja.

"Udah gakpapa, mungkin dia capek habis pulang sekolah." Patrio merebahkan diri di sofa, meletakan kepalanya di senderan kursi seraya menatap langit-langit. Kumisnya bergerak seiring bibirnya menyungging senyuman miring dan kedua manik matanya dipenuhi kegilaan-kegilaan liar tak terkendali.

"Yaudah mas, aku mau ambil laundryan dari rumah temenku. Itu loh si Hasna udah buka usaha luandry, gak jauh sih dari rumah cuma sekitar 10 menitan. Oh ya, sekalian juga aku mau belanja ke super market mau beli daging buat makan malam nanti." Yuli sudah berpakaian rapi mengambil tasnya lalu menyalami suaminya.

"Hati-hati," kata Patrio menegakkan tubuhnya melihat Yuli keluar dari rumah.

Di dalam kamar, Nayla berdiri di dekat jendela balkon lihat Yuli keluar dari rumah menaiki taksi. Nay memeluk dirinya erat, matanya terus mengawasi pintu kamar dengan tatapan gelisah.

Suara knop pintu bergerak, meskipun telah ia kunci dari dalam namun Patrio selalu mudah untuk mendekatinya. Pasti dia punya kunci cadangan agar leluasa masuk ke kamarnya jika dirinya mencoba menghindarinya.

Tangan Nay meremas rok sekolahnya dan tubuhnya bergetar seiring langkah demi langkah yang Patrio ambil untuk mendekatinya. Wajah mesum lelaki itu sama seperti pria hidung belang di club malam. Tatapannya keji, tega menelanjanginya demi kepuasan hasrat bejatnya.

"Aku sudah lama meninggalkanmu, sayang. Kangen gak sama papa? Ahhh, kamu lebih pantas memanggil aku sayang daripada papa." Patrio kini sudah berada di depan Nay. Bau rokok ditubuhnya bercampur keringat membuat Nay memalingkan wajahnya tak tahan akan bau tersebut.

Tangan besar Patrio meraih pinggul Nayla, membelai rambutnya sangat lembut. Bibir hitam Patrio mendekati wajahnya, mengecup ceruk lehernya dan Nay merasakan tubuhnya menegang lantaran Patrio dengan tak tau malunya meremas dada Nay. "Apa tidak bisa memperlakukan aku sebagai anakmu?"

BAHURAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang