Tak terhitung berapa banyak pesan spam dari tantenya Em dan panggilan telepon tak terjawab dari Monic. Semua yang terlihat di layar ponsel tampak tak berarti bagi Aksa. Meskipun emoticon tangis terlihat di seluruh pesan-pesan Em, Aksa tetap membatu. Kabar buruk mengenai kondisi Felix yang semakin menurun, merupakan kado terindah bagi ibunya. Kini, semesta telah membayar rasa sakit, kepedihan dan pengorbanan Bahira yang sama sekali tak pernah di hargai.
Di balik punggungnya, ada sahabat yang sejauh ini mengerti penderitaannya. Nigel menarik napas dalam seraya melipat kedua tangan di depan dada mengamati kedilemaan Aksa. "Gue tau Sa, sebenci-bencinya lo sama bokap lo, lo masih peduli dan mikirin dia, cuma lo gak mau nunjukin itu."
"Terkadang, kebencian adalah hal yang terpaksa dilakukan untuk menutupi fakta bahwa kita masih peduli dan menyayanginya." Selatan berdiri di samping Nigel sembari mengepulkan asap rokok berbentuk O.
"Ya, kamu benar sodaraku. Tidak baik membenci dan menjadi orang pendendam, tapi siapa yang memulai? Jika sesama manusia tidak saling menyakiti, tidak akan ada kata benci yang memecah belah. Iya gak, bro?" ujar Adam sok bijak, menyisir rambutnya yang mulai gondrong itu ke belakang.
"Gakpapa kalau mau saling menyakiti, tapi jangan tinggal di bumi," timpal Seb bermaksud bercanda. Dia muncul tiba-tiba di tengah Adam, Selatan dan Nigel.
"Heuh?" kompak Nigel, Selatan dan Adam menoleh pada Seb.
Seb menaikan sebelah alis menyadari tatapan ketiga temannya yang serius. "Kita kan doyan tawuran dan menyakiti orang. Harusnya sih, Presiden sediain planet khusus buat anak-anak macam kita ini, biar apa? biar bisa perang tiap hari," lanjut Seb cengengesan, candaannya garing di tengah pembahasan serius diantara mereka bertiga.
"Harga planet mahal, kaya minyak goreng,"balas Selatan agak ketus, dia membuang puntung rokoknya lalu menginjaknya menggunakan ujung kaki.
"Kata siapa minyak goreng mahal? Tuh, muka si Lintang berminyak tiap hari kagak lo minta? gratis tanpa dipungut biaya," sindir Seb mendelik Lintang yang sedang berjalan menuju ke arah mereka berempat.
"Kamprett!! ini bukan minyakan bangsatt, tapi kesempurnaan kulit sehat dan glowing seperti bimoli." Lintang mengacungkan jari tengah, dia meraba rahang, merasa bangga terhadap wajahnya yang berminyak.
"PANTHERA!!!"
Seruan keras membuyarkan obrolan random mereka. Dilihatnya Aksa berjalan menunggangi motor. Seluruh anak Panthera di markas elevator beranjak dari tempat mereka, nada panggilan yang menghentak tegas itu pertanda Waspada.
"Weh weh, main cabut aja tuh si ketua." Adam tergesa-gesa memakai jaketnya sambil berjalan mengekori yang lain menyusul motor Aksa.
"Cepetan bego! jangan kelewat momen berdarah ini, kawan." Lintang meraih bahu Seb ketika dirinya akan kabur. Seb tidak akan tahan melihat kebrutalan sahabatnya. Dia tidak mendukung perbuatan dengan unsur kekerasan, tapi dia juga tak mampu menghentikan itu. Aksa manusia bebal, keras kepala yang selalu mementingkan prinsipnya.
"Seriusan nih si Aksa? dia mau bantai anak-anak Kasopati?"
"Gue gak akan biarin itu terjadi." Nigel berkata santai seolah semuanya mudah diatur. Percuma saja, Aksa akan menjadi tuli saat keputusannya ditentang.
••••••••Derum motor menggaung keras di depan gerbang rumah, asap knalpot mencemari udara sejuk tengah malam yang tentram. Semua penghuni rumah pelita residence merasa pengang, sumpah serapah keluar dari mulut mereka, termasuk Joana.
"Astaga! manusia jenis apa yang jam segini masih melek?! berasa tinggal di dunia sendiri, seenaknya berisik!" gerutu Joan dengan suara purau sambil menguap berjalan menuruni anak tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAHURAKSA
Teen FictionAlam punya banyak cara mengistimewakan makhluknya. Tanpa terluka dia, kamu ataupun mereka tak akan pernah menemukan arti... semesta hidup karena masalah! Apa sebenarnya yang manusia butuhkan? Masalah yang harus menggunung setinggi krakatau atau masa...