19. Calm

463 134 285
                                    

Dia keluar dari rumahnya yang sesak. Meski terbilang salah satu tipe hunian VIP di Pelita Residence, tapi bagi Nayla itu merupakan sarang penderitaannya. Di rumah itulah kegadisannya direnggut oleh dua pria yang seharusnya bisa menjadi bagian dari keluarganya. Mereka iblis yang menyamar sebagai manusia. Nayla muak selalu menjadi tempat penampungan hasrat bejat para lelaki yang tak punya rasa hormat. Harga dirinya di bawah kaki sang diktator. Patrio dan Bonar adalah orang yang bertanggung jawab atas masa depannya yang hancur. Nay berjalan dalam gelap malam di trotoar mengikuti jalan yang sunyi, entah mau kemana dan dimana ia harus menenangkan dirinya.

Bayangan kecemasan di mata Nay menyatu dengan genangan bulir bening di pelupuk mata. Untung saja dia memakai pakaian cukup tebal. Nay memeluk tubuhnya sendiri merasakan malam ini sangat dingin. Dia mendongak menatap bulan yang separuhnya tertutup awan di langit gelap, betapa indahnya di atas sana. "Aku ingin menyapamu langit, apa aku bisa terbang ke sana? aku butuh teman saat ini. Aku lelah, tolong dengarkan aku...." Nay terisak, dia menutup wajahnya menyeka air mata yang semakin membuat dirinya terlihat lemah dan menyedihkan. Nay lihat hanya ada satu dua kendaraan yang melintas. Dia berbalik badan melihat sepanjang jalan yang sudah ia lewati sangat sepi, gelap dan hanya daun daun kering tertiup angin menyapa dalam keheningan.

Akhirnya, karena tidak mau berlama-lama di luar yang dingin, Nay memutuskan singgah di salah satu cafe yang buka 24 jam berjarak 300 meter dari perumahan pelita. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut tempat itu untuk mencari tempat yang pas menikmati cokelat panas. Pojokan memang selalu menjadi posisi paling pas untuk orang yang ingin menyendiri seperti Nay. Dia melangkahkan kaki ke meja 34 di pojok, melewati dua barista yang sedang melayani sepasang kekasih di kursi bar.

Nay memesan cokelat panas pada waiter, menunggu santai di meja 34 sembari menengok ke arah luar.

"Permisi Mba." Seorang pria berpakaian kemeja kota-kotak menyapanya.

"Maaf, Mbanya disini ya?" Dia lancangnya duduk di depan Nay membuatnya tidak nyaman.

"Mas! cafe ini masih banyak kursi kosong, bisa gak pindah?! saya mau duduk sendiri!" ketidaksukaannya menyemburat di wajah Nay. Dia mendesah menatap sinis pria dihadapannya.

Pria itu melengkungkan alis sebelah, tertawa kecil dengan pandangan mengejek. "Saya sudah daritadi disini, mba. Ini bekas gelas kopi saya." Pria itu mengacungkan gelas kopi yang tinggal setengahnya. "Dan ini tas saya," lanjut pria itu mengambil tas selempangnya di belakang punggung Nay.

Wajah Nay seketika memerah. Dia cepat-cepat berdiri hendak berpindah tempat, namun pria itu mencekal tangan Nay. "Mba, kalau mau di sini yaudah gakpapa."

Waiter datang membawa cokelat panas pesanan Nay.

"Duduk aja di sini sama saya. Lebih enak kan duduk ada temennya daripada sendirian. Tenang aja, saya gak bakal ganggu kok. Saya juga lagi selesain skripsi." Pria itu membuka laptopnya meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Nay duduk canggung memegang gelas cokelat panas yang menghangatkan telapak tangannya. Dia mencuri pandang sekilas melihat wajah serius pria dihadapannya. Menurutnya, pria itu tidak seganteng Aksa dan atau sekeren penampilan Aksa. Melihatnya hanya pakai kemeja agak buluk, celana jeans yang sudah pudar warnanya, rambut keriting dan wajahnya kusam tidak terurus. Nay menyeruput minumannya berusaha enjoy dengan suasana yang ada.

"Oh ya, mbanya masih sekolah atau lagi kuliah?" pria itu membuka obrolan.

"Sekolah."

"Oh gitu, kok keluar malem-malem sih? gak takut besok kesiangan?" Dia terus mengetik tanpa melepaskan tatapannya dari layar laptop.

"Kita disini tidak saling kenal, bisa gak yah kakak gak usah tanya-tanya?!" Nay meletakan gelasnya agak kasar sampai terdengar bunyi benturan yang cukup keras.

BAHURAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang