Bukan berasal dari rahimnya, tapi dia memberikan semua kenyamanan yang dibutuhkan. Kekosongan itu menjadikan Monic tokoh cadangan dalam hidup putranya. Selalu terlintas rasa cemburu ketika posisinya menjadi tak berarti. Ada dalam keluarga Biru itu pilihan Monica dan dia menerima konsekuensi dari hubungan saling berbenturan yang sudah ada sejak lama.
Kakinya harus memijak kembali di lantai ubin putih kepolisian. Orang-orang berseragam sabhara terlihat di sekelilingnya. Monica melihat suaminya sedang mengurus pembebasan Aksa dengan inspektur. Sejujurnya dia tak mau masuk ke dalam. Monic merasa gagal menjadi seorang ibu bagi Aksa. Dia tak bisa menepati janjinya pada mendiang Bahira.
"Monic?" Felix memanggil Monic yang hendak berbalik arah.
Sambil mengembuskan napas kasar, Monic menemui Felix di dalam kantor polisi. Dia sungguh tidak ingin datang lagi ke tempat ini, menyakitkan baginya bila melihat Aksa dibalik sel tahanan. Hatinya akan hancur. "Mas, aku tunggu di sini aja, ya."
Polisi wanita muncul bersama tahanan. Monic membuang wajahnya lihat Aksa memakai pakaian narapidana bernomor 14.
Felix mengeraskan rahangnya sedikit menggebrak meja inspektur polisi. "Anda berani memakaikan baju itu ke tubuh anak saya, hah? saya kan sudah bilang, perlakukan anak saya dengan baik!"
Pak Bijen inspektur polisi bangkit dari duduknya dengan wajah dihinggapi kejengkelan yang terpendam. "Mohon maaf tuan Felix, tapi putra bapak sendiri yang ingin memakai pakaian itu," kata Bijen mencoba tetap menunjukan sikap tunduk pada pria yang selama ini selalu menekannya.
"Kenapa, pa? Malu yah anaknya pake baju napi?" Aksa tersenyum miring menyingkirkan tangan polwan yang memeganginya. Dia menunjukan baju biru itu di depan Felix. Aksa membalikan badannya memunggungi ayahnya. Tulisan nomor 14 tahanan kepolisian tanpa rasa malu ia membeberkannya depan kedua orang tuanya.
"Kamu bangga memakai pakaian itu, hm? Papa bisa membuat kamu lebih lama di sini, Aksa," ucap Felix dengan nada mengancam.
"Mas, kamu jangan kaya gitu dong. Aku gak mau Aksa dipenjara!" Monic menggoyangkan tangan Felix. "Aksa, udah, nak. Kamu jangan buat papa kamu marah terus. Mama gak mau liat kamu lama di penjara, sayang."
Sama-sama berwatak keras, keduanya tak mau mengalah walau dunia runtuh sekali pun. Aksa selalu berani membalas tatapan kelam ayahnya meski dia harus menanggung kemurkaan lebih besar lagi dari Felix. Nyalinya terbentuk dari kecil. Bungkam dan diamnya memaksa Aksa keluar memberontak. Terkadang Aksa di luar akan semanis kucing, tapi dalam dirinya adalah kucing besar yang buas. Membangkitkan gemuruh murka dalam diri Aksa merupakan kesalahan fatal. Itu bukan untuk uji nyali. Aksa lebih dari yang orang pikirkan.
"Ganti baju kamu! ayo ikut papa pulang." Felix melunakan suaranya.
"Kalau Aksa pulang, Aksa bakal tiap hari liat wajah papa. Papa kan ikut andil dalam kematian mama?"
"Kurang ajar!" Suara Felix meninggi lagi seraya mengangkat tangannya di udara hendak memukul Aksa.
"Mas! Mas jangan pukul Aksa, aku mohon," pinta Monic dengan tatapan memohon. "Aksa, please jangan kayak gini, nak. Mama mohon sama kamu, kamu pulang, yah."
Monic mengeluarkan nota transaksi di dalam tasnya dan menunjukannya pada Aksa. "Liat, mama udah booking gedung buat acara ulang tahun ke 20 kamu, sayang. Tiga minggu lagi kan kamu ulang tahun, sayang. Mama gak mau kamu di sini, mama udah persiapin semuanya."
"Aksa gak akan pulang." Aksa hanya melihat sekilas nota itu tanpa berniat mengubah keputusannya.
"Permisi."
Mereka menoleh pada sumber suara. Gadis itu berdiri sedaritadi menyaksikan pertengkaran diantara Aksa dan kedua orang tuanya.
"Hallo om, tante?" Yasmin mendekati tempat Monic dan Felix berdiri. Dia menyapa orang tua Aksa ramah sembari tersenyum, namun hanya dibalas dengan wajah dingin dari ayah Aksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAHURAKSA
Teen FictionAlam punya banyak cara mengistimewakan makhluknya. Tanpa terluka dia, kamu ataupun mereka tak akan pernah menemukan arti... semesta hidup karena masalah! Apa sebenarnya yang manusia butuhkan? Masalah yang harus menggunung setinggi krakatau atau masa...