1

10.3K 570 9
                                    

Pagi itu begitu cerah, Sophia pun menyambutnya dengan semangat.

"Ayo Sophia, kita jangan sampai terlambat!"

Teman-temannya mengingatkan gadis itu untuk segera berkumpul. Mereka maklum jika Sophia sering terlambat jika disuruh berkumpul.

"Sebentar, aku sedang merapihkan rambutku," Sophia mencoba menerangkan alasan keterlambatannya.

Bagi Sophia, berdandan lama sudah menjadi kebiasaan. Untuknya, menampilkan sesuatu yang sempurna adalah suatu keharusan. Apalagi pagi itu dia akan menyambut kedatangan seseorang yang spesial. Seseorang yang disegani di seluruh Batavia.

"Kau lambat sekali, Sophia."

"Aku hanya ingin berdandan dengan rapi."

"Ya, aku tahu tapi ... Tuan Gubernur sudah datang. Kereta kudanya sudah tiba di pekarangan."

Dengan tergesa, Sophia dan temannya berjalan cepat ke arah beranda. Mereka menyusuri koridor diantara pintu-pintu kamar berukuran besar. Kedua gadis disambut mata yang melotot dari Ibu Panti. Oh, dia marah. Dan selalu begitu.

"Ke mana saja kau, lama sekali Sophia."

"Maaf Bu, ada yang harus aku selesaikan."

"Cepat baris, ikuti teman kalian."

Sophia berdiri di di depan anak-anak lainnya. Mereka yang lebih tinggi, berdiri di belakang anak yang lebih pendek.

Sophia senang menyaksikan kedatangan sosok yang baru saja turun dari kereta kuda. Seorang lelaki paruh baya dengan pakaian rapi. Bajunya yang putih serta bercelana pantalon putih sungguh mengundang perhatian siapa pun. Terlebih, di dada sebelah kiri ada berbagai lencana warna-warni. Bagi Sophia, itu tidak lebih berharga dari pita yang diikatkan di leher Si Beri,  boneka miliknya.

Tuan Gubernur sungguh pria yang ramah.

Sophia bersiap dengan kedua tangannya memegang Si Beri. Gadis itu memasang senyum manis bersama giginya yang rapi. Gigi taring yang sebelumnya tanggal, kini sudah kembali tumbuh.

"Hei, siapa namamu, Nak?"

"Nama saya Sophia, Tuan." Gadis itu memegang rok dengan tangan kanannya kemudian sedikit menurunkan pundak. Sebuah penghormatan khas bagi seorang yang dihormati.

Tuan Gubernur pun memperhatikan satu per satu gadis yang berjejer di beranda dengan memasang wajah senang. Nampaknya dia senang melihat anak-anak gadis berkulit putih nan terawat. Setelah berbasa-basi dengan Ibu Panti, Tuan Gubernur berjalan masuk ke dalam gedung Panti Asuhan dengan langkah gontai. Diikuti oleh seorang wanita bergaun putih, Sophia mengira itu istrinya, Tuan Gubernur dipersilakan duduk.

"Oh, ada seekor anjing!" Sophia berteriak kegirangan ketika melihat anjing labrador berjalan masuk tanpa diundang.

"Anak-anak, sepertinya dia ingin berkenalan dengan kalian," istri Tuan Gubernur berusaha memperkenalkan  hewan peliharaannya pada anak-anak  Panti Asuhan.

Kira-kira begitulah suasana kunjungan Gubernur Hindia Belanda ke Panti Asuhan pagi itu. Semua terlihat senang. Terlebih anak-anak yang merasa terhormat mendapatkan perhatian dari orang nomor 1 di negeri itu.

Tidak lama setelah acara ramah tamah, tibalah pada acara selanjutnya. Kegiatan sarapan bersama Tuan Gubernur. Hal yang jarang sekali terjadi di sebuah panti asuhan dimana seorang pejabat tinggi negara jarang sekali untuk sudi berkunjung ke tempat demikian. Kecuali, mereka memiliki kepentingan.

"Ayo anak-anak, kalian duduk di meja ...," Ibu Panti memberi aba-aba.

Semua gadis menuruti kata-kata pengasuhnya tanpa memperlihatkan bantahan. Mereka duduk di kursi dengan mengitari meja panjang. Sedangkan Tuan Gubernur duduk di kursi dengan ukuran paling besar dan ukiran mewah. Dia menghadap para gadis dengan duduk di ujung meja. Semuanya sudah dipersiapkan oleh staf khusus rumah tangga istana.

"Aku ingin duduk di sini," Sophia segera duduk di dekat Tuan Gubernur.

"Oh, Sophia ... kau ...."

"Tidak apa-apa, Nyonya," Tuan Gubernur mengangkat tangan sambil tersenyum. "Hei, Nak. Apakah itu boneka milikmu?"

"Ya, Tuan. Namanya Beri, si beruang."

Tuan Gubernur tersenyum ramah. Begitupula dengan Nyonya Gubernur. Tidak lupa si anjing yang duduk manis di dekat tuannya. Sungguh hewan yang tahu bagaimana menempatkan diri.

Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khusus.

Ada seorang pria berjas hitam yang berdiri di sudut ruangan begitu tajam menatap orang-orang yang menyiapkan sarapan. Dia terlihat angkuh karena mengangkat dagunya serta menurunkan bibirnya seraya tanpa banyak berkata. Dia pasti penanggung jawab kegiatan sarapan pagi ini, pikir Sophia.

Sophia menatap Tuan Gubernur sambil tersenyum. Dia merasa geli melihat sup remahan roti menyangkut di kumis pirang yang menjuntai hingga ke hampir menyentuh dagu.

Tapi, rasa geli itu berubah ketika gadis itu melihat sesuatu yang tidak biasa. Sesuatu yang tidak lumrah ada di atas meja makan.

"Aghhhh!" gadis itu menjerit.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang