64 - Sibling brother's :: Arkan dan Adriana Kritis!

1.7K 93 20
                                    

.

Mobil ambulance terparkir di depan pintu masuk emergency rumah sakit Pelita tak lupa suara sirine yang terdengar mengerikan bagi siapapun yang mendengarnya.

Tangis dari Mega serta keempat sahabatnya tak terbendungi lagi saat brankar yang mengangkat tubuh Adriana keluar dari dalam mobil itu. Wanita itu terbaring kaku, wajah yang pucat pasi dengan bantuan selang oksigen untuk membantu pernafasannya.

Mobil Albert tak lama sampai, dia keluar mobil dengan perasaan yang kacau melihat putri nya terbaring lemah. Dia berlari, mendekati Adriana dan membantu mendorong brankar itu seraya berlari bersama suster, Mega dan keempat sahabatnya mengikuti dari belakang.

Adya turun dari ambulance di bantu oleh Gara dan juga Agam. Satu suster membawa kursi roda untuk membawa pria itu.

Sebelum menduduki kursi roda itu, Adya memandang Gara. Seulas senyum terukir di wajah tampannya yang terlihat lelah. "Thanks Gar!" Ucapnya tulus, dia memeluk tubuh pria itu bentaran lalu duduk di kursi roda.

Gara membalas senyuman itu, dia bisa merasakan kehangatan yang beberapa tahun lamanya hilang kembali hadir, rasa rindu dan moment itu yang mereka tunggu-tunggu. Dan benar, di setiap permasalahan ataupun kejadian pasti ada hikmah nya di balik semua itu.

Agam dan Gara mendorong kursi roda yang diduduki Adya menuju IGD dengan segera.

****

Di depan ruangan IGD semua menunggu dengan raut wajah yang cemas. Sudah hampir lebih dari 3 jam Dokter ataupun Suster tidak ada yang memberikan informasi tentang kondisi ketiga orang di dalam ruangan itu.

Albert terus menenangkan Mega karena wanita itu terus menangis tanpa henti. Pikirannya yang takut akan hal yang terjadi pada kedua anaknya. Dia tidak mau kehilangan Arkan maupun Adriana, ia berpikir kalo bisa biarkan dia saja yang berada di dalam bukan anaknya.

Tak hanya itu, keempat sahabatnya Agatha, Mela, Dalia dan Clarissa juga menangis berpelukan seperti teletubbies. Gio mencoba menengkan sebisa mungkin, karena suara tangisan mereka begitu nyaring.

"Udah dong, jangan nangis terus. Kasian pasien lain yang keganggu sama suara lo berempat." Ujar Gio masih berusaha meredakan tangisan mereka.

"Dari pada nangis gitu, mending kalian berdoa buat Arkan, Adriana sama Adya" Sahut Gara.

Agam menyandarkan tubuhnya di kursi penunggu dengan mata terpejam sambil terus berdoa untuk ketiga temannya itu.

"Kasian Adriana Yo!" Kata Mela dengan tangisannya.

"Iya tapi tau tempat juga dong. Ini rumah sakit, butuh ketenangan." Kata Gio lagi. Selang beberapa menit, suara tangisan mereka mereda.

"Gue ke toilet dulu." Pamit Relda, dia melangkah dengan kepala menunduk dan bahu yang begitu lemas. Rasa ingin berteriak dan menangis saat itu juga. Bagaimana pun, mereka di dalam karena perlakuannya tempo hari. Jika saja dia tidak melakukan kesalahan yang fatal itu, ini semua tidak akan terjadi. Relda masih terus berpikir seperti itu.

Agam membuka mata, menatap kepergian Relda, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain sabar menunggu informasi dari Dokter.

Lampu LED ruangan IGD itu menyala. Pintu terbuka lebar, menampakkan suster yang tengah mendorong brankar untuk keluar dari ruangan itu. Sontak mereka semua pun berdiri, melihat Adya terbaring di atas brankar itu dengan pakaian pasien berwarna abu-abu.

"Adya." Lirih Agatha, Agam dan Gio bersamaan.

Kondisi pria itu terbilang baik, hanya mendapatkan luka tusukkan ringan di perutnya. Dia terbaring karena sangat lemas, merasa badannya begitu remuk.

Double'A [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang