.
Mendengar perkataan Mela, tubuh Adya bergeming tidak percaya bahwa Om Albert seragu itu sampai membawa anaknya pindah ke luar negeri.
"Lo gak bohong?"
Mela menggeleng tegas. Mengusap mata nya pelan. "Gue ampe sedih gini lo masih ngira gue bohong?"
Hancur. Satu kata yang menggambarkan perasaan Adya saat ini.
Bukan cuma hatinya yang hancur. Dunia juga seketika memusuhi dirinya untuk selalu tidak ramah dan berpihak pada Adya.
Padahal kemarin dia sudah mengalah. Jika akan tau seperti ini, ia lebih baik memikirkan ego nya untuk menentang Albert.
Adya mengepalkan tangannya kuat, meninju tembok dengan keras. Melampiaskan kemarahannya dengan cara seperti itu.
Selama hampir 2 minggu aja dia tersiksa karena tidak bertemu Adriana. Dan sekarang dia kehilangan dengan cara perpisahan yang memaksanya untuk terus mengikuti alur yang diberikan Tuhan.
Adya capek. Mengikuti alur semesta yang tidak pernah ramah dan mengijinkan dirinya untuk bahagia. Menjalankan takdir yang Tuhan rencanakan meskipun dia tahu tidak bisa mengubahnya, kecuali nasib, ia akan merubah nasibnya sendiri untuk terus berjuang mencapai satu titik kebahagiaan.
"Dy, gue tau lo kuat!" Relda mencoba menyemangati Adya.
Kepala Adya menggeleng pelan, helaan nafasnya terdengar berat. "Gue gak sekuat yang lo kira." Lirihnya.
"Jadi Om Albert kesini buat urus kepindahan Adriana?" Tanya Danish.
Mela mengangguk mengiyakan. "Gue minta buat ketemu Adriana, seenggaknya terakhiran. Tapi kata Om Albert Adriana udah duluan kesana."
"Pindah kemana?" Tanya Adya, tatapannya begitu kosong, matanya juga terlihat memerah.
Agatha, Mela, Dalia dan Clarissa saling menatap, kemudian menggeleng tidak tahu. Karena mereka juga tidak diberitahu kemana Adriana pindah.
Adya mengacak rambutnya frustasi, menendang tong sampah yang ada di dekatnya. Clarissa dan Agatha sedikit tersentak karena tong sampah itu hampir kena kaki mereka.
Kaki Adya melangkah, berjalan dengan perasaan yang tidak karuan. Semua berkecampur aduk menjadi satu.
Entah apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Kepalanya pusing, terlalu banyak pikiran. Dia akan memulai hidup yang baru tanpa kehadiran Adriana disampingnya.
Apa Adya bisa?
Adya menggeleng keras, mengusap wajahnya kasar. "Gue gak bisa Adriana!" Teriaknya kencang.
"Lo ninggalin gue sampe kapan?!"
"Sampe hati gue bener-bener mati rasa?!"
Pandangan teman-temannya yang melihat Adya terus berjalan sambil bicara sendiri membuat mereka khawatir dan kasihan.
Luka dalam lebih susah untuk di obati ketimbang luka luar.
Yang bisa mengobati Adya kembali ke jati diri nya hanya dirinya sendiri dan Adriana.
Keinginan untuk dirinya mengubah kehidupan agar terasa khidmat tanpa penderitaan yang terus menerus menerjang kehidupannya.
"Kasian Adya." Ucap Akbar, matanya berkaca-kaca.
Danish mengangguk membenarkan, dia juga baru kali ini Adya sehancur itu karena ditinggal seseorang. Ketulusan Adya pada Adriana terlihat jelas.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Double'A [END]
Teen Fiction[ 𝘽𝙐𝘿𝘼𝙔𝘼𝙆𝘼𝙉 𝙁𝙊𝙇𝙇𝙊𝙒 𝙎𝙀𝘽𝙀𝙇𝙐𝙈 𝙈𝙀𝙈𝘽𝘼𝘾𝘼! ] BURUAN BACA SEBELUM DI REPUBLISH!!! ~ - Ketika Kita Bersahabat Dengan Sebuah Luka - Adriana Albertina, sesuai dengan namanya dia adalah wanita pemberani yang dikenal banyak masyara...