🔹PROLOG🔹
.
.
."Hey!" Keenan melambai pada seorang perempuan di koridor lantai satu sana.
"Ga gitu dong Nan." Tegur Daffin lalu menoleh ke sisi kanannya. "Gimana Ve?"
"P!"
Daffin menyeka wajah Eve kesal. "Yeuh! Lu manggil cewek apa tes kontak?"
"Kan ada kepanjangannya, artinya tuh punteun." Jelas Eve menjabarkan.
Raut Daffin curiga tak percaya. "Masasih? Tau lah. Jangan percaya Eve, sesat." Ia memalingkan wajah, tak peduli.
Daffin melanjutkan sendiri niatnya untuk memanggil si cewek dengan bersiul.
"Cewek! Maen kuy!"
Meski tidak terlalu jauh, tapi orang yang mereka tuju itu sama sekali tak menghiraukan. Diam berdirinya disana tampak sedang serius menatap layar ponsel.
"Ck, budek." Gavian. Ia masih setia bersandar ke dinding dengan sedekap tangan. Sepertinya cowok itu sedang tidak mood.
"Sabar dong wahai anak haram." Ketus Daffin cemberut.
"Sut. Ga baik bilang kaya gitu ari kamu.." Bela Eve.
"Lah terus apa? Kalo bukan ya gamungkin dong hidupnya misah di apartemen." Muka songonya keluar, ia merasa benar.
"Mengasingkan, bukan terasingkan." Ralat Gavi, tapi sama sekali tidak tersinggung.
"Ya bahasanya lemesan dikit lah, anak monyet gitu misalnya."
"Hm. Bokap gua emang kelakuannya monyet."
"Astagfirullah, istigfar pren," Eve menasihati lembut.
Tapi Gavi ya Gavi. Entah, teman mereka yang satu itu mungkin merasa cukup amal. Untuk masuk neraka maksudnya.
Tiga temannya sudah berusaha semaksimal mungkin agar Gavi ingat Tuhan, tapi hasilnya malah Eve yang kebawa insyaf.
Daffin menghela napasnya. Itu kesalahan yang cuman bisa geleng kepala dan sulit mereka rubah.
"Yang satu susah tobat, yang satu lagi dapet hidayah login. Ini lama lama ada pertukaran umat dah." Gerutunya pasrah.
"Nah loh, yang satu lagi kabur jurus menghilang." Lanjut Daffin kala menoleh ke sisi kirinya dan ternyata Keenan sudah jauh di depan. "Woy dinding kemana lo?!" Pekiknya berlari mengejar.
Keenan, lelaki yang tadi pertama memanggil si cewek. Daripada menunggu orang lain yang tidak pasti akan ada, ia putuskan mendatangi perempuan itu saja.
"Wah, melawan hukum perdindingan. Mana ada tembok pindah tempat hah?" Gumamnya kesal. Gavi Eve juga ikut menyusul.
Masih fokus pada layar, perempuan itu berbalik dan berjalan pelan. Keempat lelaki tadi melangkah biasa karna yakin tidak akan kehilangan jejak. Sekeliling mereka hanya ada bangunan tanpa terlihat manusia, jadi harapan mereka sekarang adalah si cewek itu.
Jarak mereka tinggal dua langkah, tapi sepertinya perempuan surai sedada itu belum mengetahui ada sekelompok orang yang ingin berkomunikasi dengannya.
Saat memasukan ponsel ke saku, ia mendadak berbalik dan menubruk salah satu dari empat cowok yang sedari tadi berjajar di belakangnya. Gavian menangkap tubuh gadis itu, kedua tangannya terulur pada punggung dan pinggang ramping si cewek.
Iris tajam bernetra biru Gavian bertemu dengan sepasang manik hitam. Raut keduanya sama-sama datar dan dingin.
Dua detik. Setelah itu mereka berdiri seperti biasa dan tanpa terlihat canggung sama sekali. Malahan Eve dan Daffin yang terdiam speechless.
KAMU SEDANG MEMBACA
QUEEN-ZA
Teen Fiction"So' mau ngehukum! Anda siapa?! Guru? Hakim? Aparat negara?!!" Sentakan menggema itu adalah peringatan dari Ara. Aura sekitar seketika mencekam membuat bulu kuduk meremang. "LEPASIN BANGS*T!!" Gavi meronta sekuat tenaga, tapi berkutik sedikitpun jug...