🔹25🔹
Tanggung Jawab Asya.
.
."Udah." Gavi tiba-tiba nongol di samping Ara yang tengah menutup pintu lab. Sebuah kunci mobil ia asongkan pada pemiliknya. Ara terima itu lalu mereka berjalan sejajar menuju tempat parkir.
"Jadi gue divonis apa? Pasal apa? Nomer berapa?" Sarkas Ara mencurahkan unek-uneknya tentang pembicaraan mereka di lab tadi. Bukanya baper, tapi ia saking tidak habis pikir dengan lelaki ini yang tiba-tiba muncul dan menyerbu dengan pertanyaan intens beruntun layaknya interogasi.
Dengan muka tanpa dosanya Gavi malah merangkul hangat Ara. Cowok itu seakan amnesia bahwa ia pernah membenci Ara. Ara pun tidak mengerti Gavi bisa berubah secepat itu seakan kena sihir.
"Atau mau dilanjut di lapangan? Kebetulan udah sepi. Lo mau gue banting gaya apa?" Sembari melepas tautan lengan Gavi.
"Boleh, tapi gue pengennya balap karung. Acara taunan disini ada 17an?" Tanya Gavi terlalu random. Satu lengannya terulur santai lagi ke pundak Ara.
"Lomba lokal sama khas negara lain." Jawab Ara juga sembari menurunkan tangan itu lagi.
Gavi mengangguk-angguk. "Rame ya," Ia lau menoleh. "Terus, gue perlu minta maaf gak?" Maksudnya adalah perbuatannya di lab tadi.
"Tapi lo juga tau gue ga bahaya, buktinya lo ga ngelawan. Jadi gausah minta maaf lah." Imbuh Gavi tanpa beban.
"Se-jaya lo aja." Ara menyahut malas.
"Tapi kayanya perlu deh."
Langkah Ara berhenti membuat Gavi juga ikut. "Gue punya pantun buat lo." Ucapnya sembari menghadap penuh ke samping dimana Gavi berdiri.
"Apa tuh?"
"Kertas api gunting."
"Terus?"
"Waras tapi sinting."
Setelahnya Ara melanjutkan langkah meninggalkan Gavi yang sedang menghela napas sabar sembari elus-elus dada. Lalu baru Gavi menyusul berjalan sejajar lagi dengan Ara sembari merangkul hangat pundak gadis itu—lagi.
"Lo tau cewek tadi?"
"Kelas sebelah, talent musik, asal Rusia." Ara sambil melepas tangan Gavi dari pundaknya.
"Lengkap, ya."
"Kali aja lo mau ngegebet. Mungkin gue bisa bantu comblangin."
"Ga ah, makasih. Gue udah punya. Dan bukan lo." Lagi, Gavi rangkul pundak Ara yang ke empat kali. Tentu ditepis lagi, dan kali ini sedikit tidak ramah.
"Your fucking hand!" Maki Ara kesal menatap tajam Gavi.
Lelaki itu malah tergelak puas. Selama macam macamnya juga tidak serius atau masih di batas aman, ia yakin Ara tidak akan bertindak kasar.
Harusnya sih skenario yang Gavi harapkan ialah membuat Ara cemburu. Tapi ini Arasely, Gavi yakin gadis itu tidak kenal yang namanya menye-menye ala pemudi bucin rebahan. Bahkan Gavi ragu Ara bisa jealous.
"Besok malem lo dirumah?"
"Apa? Mau apel?"
"Boleh?"
"Ya. Gue kasih restu lo sama mbak kun di pohon mangga depan rumah gue. Kayanya dia baru putus, soalnya kemaren malem gue denger ada tangisan frustasi. Kasian kalo bunuh diri."
Gavi terkekeh renyah. Ia akui ucapan panjang frozenhuman pasti tidak akan beres.
"Oke, ntar gue nyanyiin biar kehibur. Tapi maksud gue bukan bu engkun, tapi yang punya rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
QUEEN-ZA
Teen Fiction"So' mau ngehukum! Anda siapa?! Guru? Hakim? Aparat negara?!!" Sentakan menggema itu adalah peringatan dari Ara. Aura sekitar seketika mencekam membuat bulu kuduk meremang. "LEPASIN BANGS*T!!" Gavi meronta sekuat tenaga, tapi berkutik sedikitpun jug...