"Mav.. Pas kemaren malem dateng ke vila, notif keamanan itu bukan dari gue."
"Uhuk.uhuk." Seketika kunyahan Ojan yang berisi pisang keju milik Xander itu nyangkut di kerongkongan.
"Hah??" Ia buru buru menyesap minum secukupnya. Raut yang selalu terisi jenaka kini berubah terkejut.
"Hp gue lowbat, Mav. Bahkan mati, gimana bisa kedeteksi alat lo??"
"Yang kalian bertiga dateng terakhir itu kan? Elo, Xander, sama Rizhan." Tanyanya memastikan dan mendapat anggukan. "Lah iyah, gua baru sadar juga, kenapa Rizhan bisa ketinggalan ya?" Ojan jadi berpikir keras.
"Kita bareng sama Rizhan dari hutan pinus. Katanya dia lagi berenti cek ban." Ara menjelaskan.
"Dan disana ga ada lampu jalan. Kalo emang berenti buat itu, ya ga akan keliatan." Imbuh Xander ikut beralibi.
Ojan mengangguk setuju. "Bener. Aneh. Malem itu Rizhan juga agak beda. Ya emang anaknya pendiem sih, tertutup. Tapi pas besoknya mau pulang, gua liat dia kaya banyak pikiran gitu. Pokonya ga kaya Njan yang biasa. Sorot matanya kaya mengandung satu ton beban hidup." Jelas Ojan.
"Pas gua tanya kenapa, tuh anak cuma bilang gapapa, tapi campur linglung gitu."
Lagi, Ara merasa dihantam beban berat. Terbukti makin jelas, orang itu bukan Rizhan mereka. Mata Ara memanas sekaligus bercampur kilat emosi. Xander yang masih setia menggenggam tangan Ara, ia usap lagi tangan itu lembut.
"Dimana sekarang?" Tanya Ara lagi.
"Sejak malem itu di markas. Kenapa Ra?" Wajar jika Ojan belum mengerti, ia belum mengetahui goresan di leher Rizhan.
Ara mengangguk. "Oke, bagus. Ka, lo udah ke markas lagi?" Toleh Ara mendapat gelengan samar dari Xander.
Ara kembali menoleh pada Ojan. "Mav, sementara kita berdua ngga akan ke markas dulu. Sampai ini beres. Terserah lo mau kasih alesan apa ke yang lain. Kalau Rizhan emang aneh, dia harus diem dulu disana. Seengganya buat istirahat. Iya kan? So, titip Rizhan ya, awasin terus dia."
Begitu salah satu kesepakatannya tadi dengan Xander. Tidak memberitau siapapun tentang ini, termasuk Zheodrix sendiri.
Ojan mengangguk paham. Dalam benaknya, posisi kecurigaan seperti ini, keamanan Ara dan Xander lah yang paling penting.
"Lo kenapa ngga bilang, Ra?" Setelah sekian detik berlalu tanpa suara, Ojan kembali mencairkan suasana. Ia kini memasang muka cemberut.
"Lo kira gue lagi nguli?" Ketus Ara asal nyaut.
"Kemaren atuh Ara.." Muka Ojan memelas miris.
"Gue gamau ada gangguan pas kita healing." Jawab Ara enteng meski pikirannya tengah terbebani.
Ojan mengusap wajah kesal. "Tapikan itu bahaya, ratuku sayang.." Gemasnya meremas angin.
"Cengkat sono Jan, pesen Maranggi." Titah Xander menengahi sekaligus menyudahi Ojan buat kepo lebih jauh.
Ojan berdiri, tapi masih sambil misuh misuh. "Otak lo terlalu suhu buat gue yang cupu, Ra.." Ia harus sabar dengan kelakuan ratunya.
Ara melirik sekilas. "Buat gue kalian udah suhunya para suhu yang tersuhu." Ucap Ara dan berhasil menghadirkan senyum samar Xander bersama tatapan lekat yang terkandung rasa kagum akan gadis itu.
"Jan nitip tisu ya!" Seru Ara mendapat jempol dari Ojan.
"Ya ampun..! Udah main embat aja tamu dari satu Jakarta. Padahal dia baru banget dateng. Dan kalian kan sesama tamu.. Nggak malu, emangnya??" Suara nyaring itu tiba-tiba menyambar ditengah kedamaian kantin. Asalnya dari stand penjual nasi goreng.
KAMU SEDANG MEMBACA
QUEEN-ZA
Teen Fiction"So' mau ngehukum! Anda siapa?! Guru? Hakim? Aparat negara?!!" Sentakan menggema itu adalah peringatan dari Ara. Aura sekitar seketika mencekam membuat bulu kuduk meremang. "LEPASIN BANGS*T!!" Gavi meronta sekuat tenaga, tapi berkutik sedikitpun jug...