9

52.4K 5.7K 18
                                    

Vote dulu, baru baca✌

###

Ashiel merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Mengapa ia merasa sesak sekarang? Dan lagi, semuanya terlihat berbayang. Suara-suara yang ia dengar juga menjadi tidak jelas. Telinganya berdengung nyeri hingga pada akhirnya, semuanya menjadi gelap.

"Ashiel, bangun nak!" Lavina mengguncang pelan tubuh Ashiel namun tidak mendapat tanggapan.

Xera yang segera memeriksa Ashiel dan meminta yang lainnya menyingkir.

"Ini–" Xera menghentikan ucapannya lalu kembali memeriksa Ashiel untuk memastikan.

"Dia mengalami lonjakan mana." Ucapan Xera berhasil membuat mereka terdiam.

Air mata Lavina yang bahkan kering kini kembali membasahi pipinya. Jika sebelumnya ia hanya terisak, Lavina kini menangis keras.

"Apa itu bisa disembuhkan?" Tanya Sean dengan harapan dimatanya.

Xera menggeleng pelan. Sampai saat ini belum ditemukan penawar untuk seseorang yang mengalami lonjakan mana. Hatinya ikut sakit melihat Xavier yang kembali terdiam dan Lavina yang menangis keras.

"Ashiel mungkin akan sadar dalam beberapa jam lagi. Aku memang tidak bisa menyembuhkannya tapi aku bisa meredakan rasa sakitnya. Jika ia membuka matanya nanti, panggil saja aku." Ucap Xera yang berhasil membuat mereka merasa sedikit lega.

Sean menundukkan kepalanya. Ia menatap Ashiel yang masih memiliki jejak darah di sudut bibirnya.

"Xavier, mengapa..." Lavina menatap suaminya.

Dari sekian banyak hal, mengapa Ashiel yang begitu menderita? Mengapa putra keduanya harus mengalami semua ini?

Xavier memeluk Lavina, berharap Lavina bisa tenang. Ia juga merasakan perasaan yang rumit.

"Anakku." Lavina terus menangis hingga akhirnya ia tertidur karena kelelahan.

Xavier memindahkan Ashiel ke tempat tidur milik Lavina dan membiarkan Lavina tertidur disampingnya.

"Apa kau akan tetap disini?" Xavier tahu bahwa Sean tengah menahan marah saat ini walaupun ia tidak mengungkapkannya. Ia menepuk pundak Sean untuk menenangkannya. "Kita akan mencari jalan keluarnya bersama. Terimakasih kau sudah membawanya pulang." Xavier berkata sambil tersenyum pada Sean.

"Aku akan tetap disini."

"Baiklah, ada yang perlu aku bicarakan dengan Xera. Jaga mereka." Xavier berlalu meninggalkan kamar Lavina diikuti Xera yang sebelumnya membersihkan pakaian dan jejak darah dipakaian Ashiel dengan sihir.

~•~•~•~

"Xera, apa kau benar-benar tidak bisa menyembuhkannya?" Xavier tampak putus asa. Xavier tidak siap jika harus melihat Ashiel yang kesakitan setiap kali mananya melonjak.

Xera menatap kembarannya dengan sendu. Ia juga ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Xavier. "Aku masih melakukan penelitian, seperti yang aku katakan sebelumnya. Aku akan meredakan rasa sakitnya dengan sihirku."

"Jadi kau akan tinggal disini?"

"Tentu saja, lagipula keponakan kecilku sangat menggemaskan."

Xavier mengangguk setuju, Lavina versi kecil memang menggemaskan. Tanpa sadar Xavier tersenyum mengingat wajah Ashiel dan Lavina yang sama persis.

"Xavier, aku ingin merusak sesuatu sebentar. Aku akan kembali." Tidak lama setelah itu, Xera menghilang karena berteleportasi.

Xavier menyandarkan tubuhnya di kursi. Ibu jari nya memjjat pelan pelipisnya. Ia menggerakkan lonceng kecil kemudian suara ketukan pintu terdengar.

"Tuan, ini Rien."

"Masuk."

Rien tidak mengetahui rinciannya, namun setidaknya ia mengetahui bahwa Ashiel merupakan tuan muda keduanya yang hilang tujuh tahun yang lalu. Ia mendapati Xavier yang duduk dengan tatapan kosong.

"Ashiel, dia anakku. Mananya disegel, fisiknya diubah dengan sihir penyamaran. Dia juga tinggal ditempat pelelangan budak. Jika bukan karena Sean yang membawanya, aku mungkin tidak akan pernah menemukannya."

"Seandainya saat itu aku membawanya pergi bersama ke tempat perburuan. Dia tidak akan mengalami hal mengerikan ini."

Rien mendengarkan keluhan Xavier. Ia juga ikut merasa marah dan kecewa karena tidak berada disisi Ashiel dan Lavina pada saat itu.

"Tolong jangan menyalahkan diri anda tuan."

"Lalu siapa yang harus aku salahkan!? Ashiel bahkan harus menderita karena lonjakan mana sekarang." Xavier tanpa sadar meninggikan suaranya pada orang yang sudah merawatnya sejak ia kecil. Ia mengusap kasar wajahnya.

Rien tidak keberatan dengan amukan Xavier. Ia bisa mengerti apa yang dirasakan Xavier.

"Akan lebih baik jika kita fokus untuk mencari cara agar tuan muda baik-baik saja."

Xavier memejamkan matanya untuk menenangkan diri. Rien benar, lebih baik ia mencari cara agar Ashiel tidak begitu menderita.

~•~•~•~

Adik Protagonis Pria [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang