38

26.3K 4K 71
                                    

Vote dulu sebelum baca✌

###

Ashiel duduk dikursi yang membuatnya dapat melihat air mancur buatan. Ia tidak sempat mencegah Chasire meninggalkannya.

Sekarang Ashiel sendirian.

Anak itu mengayunkan kakinya sambil menatap sekeliling. Begitu banyak orang berlalu lalang.
Mata violetnya yang bulat kini tampak sembab karena dibuat menangis oleh Chasire.

Tempat ini bukan pasar, tapi sebuah jalan yang cukup besar dengan puluhn pedagang disetiap pinggir kiri dan kanannya. Tidak jauh berbeda dengan yang ada dibumi. Ashiel berharap ia bisa bertemu dengan pemilik guild informasi. Anak itu meraba saku celananya namun ia tidak menemukan satupun koin didalamnya. Ia hanya membawa kotak harta karun.

Ashiel menghela napas menyadari bahwa ia tidak memiliki uang. Kedepannya, ia akan meminta Xavier memberinya uang saku. Uang yang benar-benar ia simpan disaku celana atau bajunya!

Tangan kecilnya mengusap sisa air mata yang membasahi pipi berlemaknya. Sekarang Ashiel merutuki kebodohannya yang menangis karena makanannya terjatuh. Mengapa ia menangis? Ia bisa membeli ulang makanan itu.

Huft!

Anak itu mengerucutkan bibirnya. Merasa bosan karena ditinggal oleh Chasire. "Kapan dia kembali?" Ashiel bisa saja pulang sendirian ke mansion Ailos. Hanya saja ia malas. Belum lagi kakinya yang pendek itu pasti akan mudah lelah. Lebih baik ia menunggu Chasire agar bisa berteleportasi ke mansionnya.

"Hah~" Lagi, Ashiel menghela napasnya, merasa menyesal karena tidak belajar sihir pada bibinya. Akan mudah baginya untuk pergi kemanapun ia mau jika ia mempelajari mantra teleportasi.

Bosan menunggu Chasire, Ashiel turun dari tempat duduknya lalu mulai berjalan mengikuti langkah kakinya. Apakah Ashiel merasa takut? Tentu saja tidak, Ashiel itu berjiwa dewasa! Jadi ia sangat berani.

Ingat itu!

Mulanya, Ashiel hanya berjalan menjauhi tempat ia duduk sebelumnya. Lagipula ia ingat jelas dimana tempat itu.

Yah, seharusnya begitu.

Tapi apa sekarang? Mengapa orang yang berlalu lalang disini semakin banyak? Ashiel yang pendek dan kecil tidak bisa melihat apapun selain orang dewasa yang lebih tinggi darinya.

Gerah dengan tudung yang ia pakai, Ashiel melepaskan tudung itu dan membuangnya sembarangan. Kepalanya menoleh kekanan dan kekiri untuk mencari tempat sebelumnya.

"Sepertinya aku tersesat." Ucap Ashiel yang hanya bisa ia dengar sendiri.

Bukan masalah besar. Lebih baik Ashiel menikmati kebebasannya sekarang.

Ashiel berjalan dengan percaya diri. Ia melangkahkan kakinya menyusuri jalan sambil memikirkan alur novel. Seharusnya, saat ini merupakan saat dimana Sean tengah berduka karena terungkapnya sang adik yang diberi sihir tapi sudah meninggal kemudian disusul dengan kematian Lavina.

"Itu artinya kakak belum bertemu dengan Luna?" Ashiel berpikir sambil menaruh telunjuk didagunya. Kakinya terus melangkah hingga akhirnya ia berhenti disebuah gang sempit yang cukup sepi.

"Bagaimana bisa aku berakhir ditempat ini?" Ashiel meneguk ludahnya susah payah. Hari sudah mulai gelap dan ia berada ditempat yang tidak ia ketahui.

'Ini karena aku terlalu banyak berpikir!'

Ashiel memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan gang sempit itu dengan mengandalkan ingatannya namun telinganya menangkap sebuah suara dari arah belakang.

Ashiel tidak memperdulikan suara itu. Ia mulai merasa takut, langkah kakinya ia percepat agar segera meninggalkan gang itu.

"Kau orang terpilih. Kehidupanmu yang malang sudah berlalu. Nikmatilah hidupmu yang sekarang. Ashiel Altarian." Suara itu terdengar jelas tepat ditelinga Ashiel dan membuat anak itu seketika membeku. Ia perlahan menolehkan kepalanya ke arah suara itu berasal.

Disebelah kanan Ashiel, seorang wanita paruh baya tengah tersenyum padanya. Bukan senyum yang menyeramkan, tapi senyuman tang menenangkan seperti yang sering diberikan Lavina.

Lidah Ashiel kelu, mukutnya terbuka untuk bersuara namun ia tidak dapat mengatakan apapun.

Wanita itu masih memasang senyumnya. Ia mendekati Ashiel kemudian meletakkan jari telunjuknya dikening Ashiel. Bibir wanita itu bergerak menggumamkan mantra namun Ashiel tidak dapat mendengarnya.

Kepala Ashile berdenyut nyeri, pandangannya mulai memburam. Ashiel seolah dibuat tidak berdaya hanya karena sentuhan wanita paruh baya itu. Tubuhnya kemudian oleng kesamping lalu kesadarannya terenggut.

###

Dimana ini?

Tempat apa ini?

Pandangan Ashiel yang semula gelap kini berubah menjadi jelas. Matanya bergulir menatap sekeliling dan mendapati bahwa dirinya berada diruangan serba putih. Ia juga melihat sosok pria yang terbaring diatas ranjang dengan beragam selang dan kabel sebagai alat penunjang hidup.

Ashiel tahu tempat ini.

Rumah sakit.

Ashiel mendekati sebuah papan kecil yang berisi indentitasnya.

Nama : Ashiel Altarian

Usia : xx

Diagnosis : ***

Keterangan : ***

Apa itu dirinya? Pria dengan berbagai alat penunjang hidup? Apa yang terjadi padanya?

Seolah tidak membiarkan Ashiel berpikir, dirinya merasa seolah ditarik paksa oleh suatu hal. Pandangannya kembali gelap.

"Derian, bisakah kita membawanya ke mansion? Aku khawatir dengan anak ini."

"Kita tidak bisa membawa anak kecil sembarangan memasuki mansion Luna. Bisa saja anak ini hendak menipu kita."

"Tapi Derian—"

Samar-samar Ashiel mendengar perdebatan disekitarnya. Keningnya sesekali berkerut saat rasa sakit dikepalnya menghampiri.

Derian dan Luna? Bukankah itu nama pasangan kakaknya dimasa depan dan juga tokoh antagonis novel ini? Ah! Ia tidak bisa berpikir.

"Maaf, bisakah kalian berhenti? Kepalaku sakit." Ucap Ashiel dengan nada memohon. Ia bahkan tidak tahu apa yang terjadi padanya hingga kepalanya terasa begitu sakit seolah akan pecah.

Dua orang yang berdebat itu dengan kompak menolehkan kepala mereka dan menatal Ashiel. Perempuan yang dipanggil Luna menghela napas lega kemudian bertanya pada Ashiel. "Adik kecil, bagaimana perasaanmu? Kami melihatmu terdiam dikursi lalu setelah itu kau tiba-tiba terjatuh dan tidak sadarkan diri." Jelasnya sambil membelai pipi Ashiel.

"Pusing." Ucap Ashiel pelan. Keninggnya kembali berkerut, ia mulai menyadari bahwa ia tidur diatas paha Luna.

"Ahh! Tunggu sebentar." Luna memejamkan mata dan menaruh tangan kanannya diatas kening Ashiel namun Derian menarik tanangannya.

"Derian–"

"Apa kau buta? Anak itu memakai inti monster sebagai kalung. Kekuatan suci milikmu tidak akan berguna untuknya!"

"Kita bisa melepasnya terlebih dahulu. Tolong bantu aku melepasnya agar kekuatanku bisa membuatnya lebih baik."

Deria berdecak sebal namun tak urung menuruti perkataan sepupunya. Ia melepas kalung dengan bandul inti monster dileher Ashiel kemudian membiarkan Luna menggunakan kekuatan suci untuk menyembuhkannya.

Luna kembali memejamkan matanya dan merapal mantra kemudian cahaya putih mulai keluar dari tangannya.

Melihat raut wajah Ashiel tampak membaik, Luna meminta Derian memasang kembali kalung berbandul inti monster itu.

"Apa kau sudah merasa lebih baik?"

Ashiel mengangguk pelan. Ia mengubah posisinya menjadi duduk dibantu Luna.

"Terimakasih, namaku Ashiel. Bagaimana dengan kakak?" Mungkin saja sebelumnya ia salah dengar bahwa kedua orang ini merupakan tokoh utama dan tokoh antagonis dalam novel.

Luna tersenyum sebelum memeperkenalkan dirinya. "Namaku Luna, disebelahku adalah Derian. Dia sepupuku."

Oh! Ashiel tidak salah dengar rupanya.

~•~•~•~

Adik Protagonis Pria [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang