31

30.8K 4.3K 69
                                    

Vote dulu sebelum baca✌

###

Sean datang ke kamar Ashiel dengan kotak berisi inti monster tingkat menengah yang ia dapatkan dari guild petualang. Ia juga sengaja meminta pengrajin untuk menjadikan inti monster itu sebagai bandul kalung seperti yang dipakai Ashiel sebelumnya.

Sean mengambil salah satu kalung itu kemudian meletakkan kalung dileher Ashiel. Ia juga memutuskan untuk menunggu adiknya bangun.

"Seandainya kau bersamaku, kau mungkin tidak akan terluka." Ucap Sean dengan sedih saat ia memandang Ashiel yang terbaring lemah ditempat tidurnya.

Tidak bisakah adiknya bahagia? Bukankah sudah cukup ia menghabiskan tujuh tahun yang suram di pelelangan budak? Mengapa adiknya harus kembali terluka?

Tanpa sengaja Sean melihat kedua mata Ashiel mengerjap pelan. Mata itu kemudian terbuka sempurna menampilkan warna violet yang serupa dengan miliknya.

Mata itu bergulir menatap sekeliling, hingga akhirnya menemukan Sean yang juga menatapnya.

"Ka..kak?" Ashiel berucap dengan pelan namun masih terdengar oleh Sean.

"Ya, Ashiel. Ini aku, bagaimana perasaanmu sekarang?" Sean mendekati Ashiel lalu mengusap rambut adiknya dengan lembut. Ia senang karena anak itu segera membuka mata.

Asihel tidak menjawab, ingatan dimana belati itu melesat kearahnya terputar diingatan Ashiel. Naluri anaknya kembali muncul. "Belati itu-" Tangan Ashiel yang tampak bergertar meraba pipi kanannya yang sempat tergores belati. Detak jantungnya begitu cepat. Napasnya mulai tidak beraturan.

Melihat adiknya yang bertingkah aneh, Sean berpikir bahwa Ashiel ketakutan karena penyerangan itu. Ia mengeraskan rahangnya karena menahan marah. Berani sekali orang yang menyakiti adiknya ini. Ia mendekatkan dirinya kemudian memeluk tubuh mungil adiknya. Tangannya mengusap punggung Ashiel dengan harapan adiknya kembali tenang.

"Jangan khawatir, keamanan mansion sudah diperketat. Ayah juga sedang mencari pelakunya." Sean berusaha menenangkan Ashiel walaupun ia tidak memiliki pengalaman menenangkan orang lain.

'Ini memalukan! Berhenti bertingkah seperti anak-anak. Aku sudah dewasa didalam!' Ashiel bergelut dalam batinnya tapi tubuhnya tidak memberi respon yang ia inginkan.

Sean masih memeluk adiknya dan berusaha membuat ia kembali tenang. "Kau aman Ashiel, aku disini." Ucap Sean tanpa menghentikan usapan dipunggung adiknya.

Beberapa saat kemudian, pintu terbuka lalu masuklah Lavina dan Xera.
Lavina merasa bersyukur melihat putranya yang sudah terbangun. "Ashiel anakku, terimakasih karena kau sudah bangun." Ucap Lavina sambil mencium dahi putranya. Ia membawa Ashiel dari Sean kedalam pelukannya

Sean menggeser posisinya, membiarkan ibu dan bibinya mendekati Ashiel.

Xera memeriksa keadaan keponakannya, "Ashiel, apa yang kau rasakan?"

Ashiel masih tidak menjawab namun raut wajahnya sudah terlihat lebih tenang dari sebelumnya.

"Sepertinya Ashiel masih ketakutan, bibi." Sean mewakili Ashiel menjawab bibinya.

Lavina menangkup wajah putra keduanya. "Jangan khawatir, kau baik-baik saja sekarang." Ia memberi isyarat pada Xera untuk memberi sihir agar putranya kembali tidur. Lebih baik putranya kembali tidur daripada terus mengingat kejadian yang tidak menyenangkan itu.

Melihat putranya yang kini terlelap, Lavian mengalihkan tatapan pada Sean. "Kau juga harus beristirahat Sean, kemarilah." Lavina menepuk tempat kosong disisi kanan Ashiel. Wajah sulungnya tampak kelelahan.

Sean tidak menolak, ia merebahkan tubuhnya disamping Ashel. Lavina mengusap rambutnya dan Ashiel secara bergantian.

"Panggil aku jika terjadi sesuatu, aku akan kembali ke kamarku."

"Terimakasih Xera. Beristirahatlah." Ucap Lavina diringi senyuman.

Xera mengangguk sebagai jawaban. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar Ashiel.

Sean tersenyum senang, sudah lama ia tidak tidur dengan Lavina. Ada rasa hangat yang menjalar dihatinya saat kepalanya diusap oleh Lavina.

Ketiganya kemudian terlelap bersama.

###

"Lihat ini, bukankah ini bagus?" Chasire menunjukkan mainan perahu dari kayu pada Ashiel.

"Tidak, tidak. Bagaimana dengan ini?" Tunjuk Chasire pada bola kembar berukuran kecil yang diikat oleh tali.

Chasire terus menunjukkan mainan yang ia bawa pada adik temannya, Ashiel. Sementara Ashiel menatap datar teman kakaknya.

'Apa-apaan? Aku sudah besar, bagaimana bisa aku memainkan mainan anak-anak?'

Siang ini, setelah Ashiel merasa baikan. Chasire datang dengan kotak besar yang berisi mainan.

"Aku dengar kau mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan kemarin. Jadi aku datang untuk menghiburmu." Begitu kata Chasire. Ia juga memasang cengiran diwajahnya saat mengatakan itu.

Sean menahan tawanya karena Ashiel tidak bereaksi seperti apa yang diinginkan Chasire. Awalnya Sean kesal karena ia tidak memikirkan hal yang sama dengan Chasire yaitu membelikan mainan untuk adiknya.

Sekarang, setelah melihat raut wajah Ashiel yang tampak kesal karena tumpukan mainan itu, Sean kembali mengingat bahwa adiknya memiliki selera yang aneh. Dimulai dari pedang lusuh, lalu inti monster.

'Apa aku harus mencari bayi monster untuk peliharaan Ashiel? Adikku akan senang, bukan?' Walaupun dilegalkan, memelihara monster memerlukan biaya yang besar untuk merawatnya, belum lagi diperlukan seorang ahli untuk melatih monster tersebut agar tidak menyerang manusia secara sembarangan.

"Aku sudah besar, aku tidak suka mainan ini." Ashiel berkata dengan jujur membuat Chasire menghentikan kegiatannya.

"Benarkah? Kau sudah besar? Lalu apa yang kau inginkan? Aku akan memberikannya sebagai hadiah."

Sean berdecak sebal karena Chasire seperti mendesak adiknya. "Berhenti bertanya dan membuat adikku kesal. Pergi kau!" Sean tidak ingin Ashiel mengatakan keinginannya pada Chasire. Ia masih mampu membeli apapun yang diinginkan adiknya.

Sementara Chasire dan kakakknya berdebat, Ashiel memikirkan kembali harta karun yang ia simpan. Benda itu, ada dikamarnya kan?

~•~•~•~

Adik Protagonis Pria [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang