Vote dulu sebelum baca✌️
###
Ashiel berjalan dengan langkah lesu menuju kamarnya, hatinya masih terbebani oleh peristiwa yang baru saja terjadi. Dia merasa terlupakan dan sedih.
Ashiel atau Rian, bahkan di kehidupannya yang sebelumnya, ia ia tidak mengenal sosok yang disebut ibu karena sosok itu sudah pergi setelah melahirkannya ke dunia. Ashiel hanya hidup bersama ayahnya selama enam belas tahun, lalu menjadi sebatang kara setelah ayahnya pergi karena tidak mampu melawan penyakit yang ia derita.
'Hah, Menyebalkan! Seharusnya aku terbiasa dengan perasaan ini.'
Ashiel memasuki kamarnya dengan perasaan yang berat, mencoba untuk menghadapi kenyataan bahwa hubungannya dengan ibunya telah berubah. Dia berharap Lavina tidak lagi bersedih, meskipun dirinya merasa terlupakan.
Tidak lama setelah itu, Ashiel dapat mendengar langkah kaki yang mendekati kamarnya. Xavier membuka pintu kamarnya diikuti Lavina dengan matanya yang sembab.
"Ayah, ibu. Ada apa?"
"Ashiel, ibumu ingin meminta maaf." Xavier menghampirinya lalu duduk di samping Ashiel.
Ashiel memiringkan kepalanya, mengapa harus Xavier yang mengatakan itu? Padahal Lavina juga ada disini.
"Aku minta maaf, Ashiel. Aku tidak bisa berpikir jernih saat itu. Aku menyesal." Ucap Lavina dengan suara pelan.
"Tidak apa ibu, ini semua salahku. Seharusnya aku tidak meminta ayah memeriksa tambang itu secara langsung. Aku sudah membuat ibu bersedih karena ayah tidak bisa dihubungi."
Xavier mengerutkan keningnya mendengar perkataan Ashiel sementara kedua mata Lavina bergetar pelan.
"Lavina, apa yang kau katakan pada Ashiel?" Xavier menatap Lavina dengan penuh tanya.
"Lavina, apa kau menyalahkan Ashiel karena kepergianku?" Xavier mendesak Lavina yang malah menundukkan kepalanya.
"Xavier, aku... aku memarahi Ashiel. Aku marah karena dia memintamu pergi memeriksa tambang itu. Aku takut akan kehilanganmu, dan kekhawatiranku membuat aku kehilangan kendali atas kata-kataku. Aku menyalahkan Ashiel tanpa memikirkan perasaannya, dan aku sangat menyesal."
"Kau menyalahkan Ashiel? Bagaimana bisa!?" Xavier memijat pangkal hidungnya.
Xavier tidak mengira kata-kata Lavina berbeda dari yang sebelumnya. Bisa-bisanya Lavina memarahi Ashiel karena kepergiannya? Kemana Lavina yang selama ini menangisi ketiadaan Ashiel yang diculik saat berusia dua tahun?
"Lavina, kau tahu bahwa aku memutuskan untuk memeriksa tambang itu secara langsung, tanpa ada paksaan dari Ashiel. Aku ingin melihat dengan mataku sendiri kondisi tambang tersebut. Tidak ada yang bisa menyalahkan Ashiel atas keputusanku."
"Sekarang aku tahu penyebab Ashiel berada di tambang itu. Karena perkataanmu Lavina." Xavier benar-benar merasa kecewa pada istrinya.
"Tambang itu bukanlah tempat seperti tambang biasanya. Ada banyak perangkap yang bisa membuat siapapun mati karenanya. Tapi kau membuat Ashiel, anak kita yang baru ditemukan, anak kita yang baru pulih dari lonjakan mana dan baru mempelajari sihir, harus pergi ke tempat itu untuk mencariku? Lavina..."
Xavier menghela napas kasar sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
Lavina terisak mendengar perkataan suaminya. Ashiel rela berada dalam bahaya karena perkataannya? Apa yang sudah ia lakukan?
Jika sesuatu yang buruk terjadi disana, bukan hanya Xavier yang tiada. Tapi juga Ashiel? Mengapa ia tidak berpikir seperti ini sebelumnya?
Ashiel yang hanya menjadi pendengar dalam perbincangan mereka, merasa berkecamuk di dalam dirinya. Di satu sisi, dia ingin memaafkan ibunya dan memulihkan hubungan mereka. Namun, di sisi lain, rasa sakit dan kekecewaan yang dialaminya masih begitu nyata. Dia merasa takut untuk membuka hatinya dan memberikan Lavina kesempatan yang sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adik Protagonis Pria [END]
Fantasy#Story Transmigrasi Saat ia membuka mata, ia mendapati dirinya dalam tubuh anak kecil yang dikurung disebuah sel sempit. Sampai suatu hari, beberapa kesatria datang dan membawanya keluar dari tempat itu. ### ❗️UDAH END, TAPI JANGAN LUPA APRESIASI...