Bismillahirrahmanirrahim.
Update on : 19 Agustus 2023
***
Welcome to my imagination.
Vote sebelum baca dan tinggalkan komentar.
Happy reading.
Bagian 14
^^^
"Taf,," mempercepat langkah untuk mensejajarkan langkahnya dengan Altaf.
Altaf yang sibuk dengan benda pipih dalam genggamannya hanya menoleh sekilas ke arah Kaffa yang kini sudah berjalan sejajar di sampingnya.
"Gue mau minta pendapat Lo soal Nara,," ucap Kaffa ragu-ragu.
"He'em kenapa Nara?" jawab Altaf singkat dengan pandangan yang masih tertuju pada layar ponsel.
"Gimana menurut Lo kalau Gue lamar Nara?" lirih Kaffa.
"Eum baguslah,," jawab Altaf sekenanya, jeda beberapa detik "Eh apa?!! Lo mau ngelamar Nara?!" ucap Altaf yang tak menyadari ada banyak pasang mata yang sedang memperhatikan mereka berdua.
"Kita lanjutin pembahasan ini di kantin" ajak Kaffa yang menahan malu karena menjadi pusat perhatian di lorong rumah sakit, mengingat hari itu adalah hari senin dimana banyak sekali pasien poli yang sedang mengantri di ruang tunggu.
Usai memesan makanan untuknya dan juga Altaf, Kaffa menyusul Altaf yang lebih dulu duduk di kursi kantin bagian pojok yang cukup jauh dari tempat duduk lainnya.
"Gimana soal pertanyaan Gue tadi?" tanya Kaffa yang sudah duduk di hadapan Altaf.
"Lo yakin mau ngelamar Nara?"
"Lo kenal Gue bukan hanya dari kemarin sore kan, Taf. Jadi harusnya Lo tau kan kalau Gue nggak pernah seyakin ini sama perempuan," tegas Kaffa.
"Iya Gue tau, Kaf. Tapi apa ini nggak kecepetan? Kalian belum mengenal satu sama lain. Gue tau, kalau lebih cepat lebih baik. Tapi tolong Kaf pikirkan lagi baik-baik, pernikahan bukan hal main-main. Coba tanyakan pada diri Lo, sudah benar-benar siap? Sudah ada bekal untuk menjadi pemimpin yang baik?" nasihat Altaf yang bukan hanya untuk Kaffa melainkan untuk dirinya pula.
"Lo sadar kan?" tanya Kaffa heran.
"Kalau nggak sadar Gue bukan disini Kaf, tapi di ruang ICU."
"Apa yang Gue bilang tadi serius, pikirkan dulu baik-baik, minta petunjuk dari Allah. Karena ini bukan perkara yang mudah, ibadah seumur hidup bro. Lo mau sholat yang hanya beberapa menit saja butuh persiapan dengan baik, apalagi ini." Imbuh Altaf dengan raut wajah serius.
"Yaps,, benar apa yang Lo bilang."
Kaffa mengangguk sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Taf,," panggil Kaffa.
"Eumm?" kedua alis Altaf terangkat dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
"Kalau nggak sanggup dipendam sendiri cerita, jangan sok kuat,"
Kening Altaf berkerut, "Apaan sih Lo, sok tau banget!"
"Gue tau! Muka Lo nggak bisa bohong."
"Santai aja, Gue cuma cape aja sama kerjaan," jeda beberapa detik, "Eh iya gimana kabar ayah sama bunda? Baik kan?"
Altaf berusaha mencari topik pembahasan lain, ia masih belum ingin cerita ke siapapun tentang permasalahannya dengan orangtuanya. Semenjak hari itu, hari dimana ia dan orang tuanya beradu argumen, ia belum lagi membahas persoalan itu dengan keluarganya. Terutama Hanum yang sangat menentang niat Altaf. Mungkin ada baiknya menunggu waktu yang tepat dengan suasana hati yang sudah membaik, Altaf akan kembali membicarakan niatnya untuk mengkhitbah gadis pilihannya.
"Alhamdulillah baik, Lo sering ditanyain sudah lama nggak main ke rumah,"
"Mereka kangen kali ya sama anaknya yang cakepnya nggak ketulungan ini," ucap Altaf dengan PDnya yang tak mendapat balasan apapun dari lawan bicaranya.
***
Altaf merampas sepotong brownies dari tangan Hanum yang siap menyuapkan ke dalam mulutnya. Dengan wajah tak berdosanya ia melahap brownies itu dalam sekali suapan."Astaghfirullah Altaaff!!" teriak Hanum yang merasa kesal dengan putranya.
"Iya umi? Altaf disini, nggak perlu teriak Altaf denger kok," jawab Altaf dengan santainya.
Hanum merasa kesal karena brownies favoritnya telah dimakan oleh suaminya dan hanya disisakan sepotong saja. Dan sekarang ia kembali dibuat kesal oleh putranya karena lagi-lagi ia harus gigit jari melihat brownies yang tinggal bungkusnya saja.
"Ihh kok umi cemberut? Nanti cantiknya ilang looo," goda Altaf.
"Siapa suruh ngerebut browniesnya umi?!"
"YaAllah umi, nggak boleh pelit sama anak sendiri," Altaf masih saja menggoda Hanum.
"Nggak Abi, nggak anaknya sama aja. Sama-sama nyebelin," omel Hanum sambil berlalu meninggalkan Altaf.
Altaf hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal melihat tingkah uminya yang ngomel tidak jelas. Husain yang baru saja masuk dari arah pintu belakang menghampiri Altaf yang berdiri di samping meja makan.
"Ada apa? Abi denger dari belakang umimu ngomel-ngomel,"
"Altaf juga nggak tau bi, masak cuma gara- gara Altaf rebut browniesnya, umi langsung ngomel." jelas Altaf dengan wajah tak berdosanya.
"Astaghfirullah," Husain memukul dahinya sendiri.
"Ada apa sih bi?"
"Browniesnya umi tadi abi makan dan abi sisain sepotong buat umi,"
"Jadi umi belum makan sama sekali?" sahut Altaf.
Husain hanya mengangguk pasrah bercampur rasa bersalahnya.
"Kenapa abi nggak bilang?" protes Altaf.
"Lah ini abi kan sudah bilang," jawab Husain dengan polosnya.
"Sudah, lagian juga udah terlanjur kan. Nanti biar abi belikan lagi buat umi. Kamu mandi terus istirahat gih!"
Altaf pun bergegas menuju kamarnya, namun ada suatu hal yang lupa ia ingin sampaikan kepada Husain dan juga Hanum.
"Bi," Altaf berbalik arah kembali mendekati Husain.
"Ya?"
"Nanti kita makan malam di luar ya, sekalian ada yang mau Altaf bicarakan."
"Altaf sudah reservasi tempatnya, Abi tolong kasih tau umi yaa," lirih Altaf sebelum kembali menuju kamarnya.
"Kamu tetap dengan niat kamu nak?" tanya Husain saat melihat putranya sudah berdiri tepat di depan pintu kamarnya.
Mau tidak mau, Altaf yang mendengar pertanyaan Husain menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Husain.
"Altaf tidak semudah itu merubah keputusan Altaf bi,""Atas dasar apa kamu memilihnya nak?"
Degh,, pertanyaan yang tak pernah Altaf ingin dengar dari siapapun kini terlontar dari mulut sang Abi.
"Perasaan bi,"
Jelas sekali bohong jika Altaf memilihnya atas dasar perasaan. Bahkan sampai saat ini hanya ada satu nama yang tertulis dalam benaknya.
"Jika memang itu pilihan kamu, Abi tidak bisa melarangmu nak." lirih Husain.
"Bagaimana dengan umi, bi?"
"Soal umi biar nanti abi yang coba bicara,"
"Terimakasih bi,, iya sudah kalau gitu Altaf ke kamar dulu ya bi," pamit Altaf meninggalkan Husain yang tampaknya juga bergegas mencari keberadaan istrinya.
***
Jangan lupa vote dan berikan komentarTerima kasih yang sudah membaca
Yuk berteman di Instagram!
By:elvirarismasita
KAMU SEDANG MEMBACA
Kinara dan Luka (On Going)
Teen FictionTakdir itu terkadang memang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, mau tidak mau kita harus memilih jalan ikhlas untuk ditempuh. Ikhlas memang tidaklah mudah, sebagaimana kita membalikkan telapak tangan. Namun jika tidak ikhlas maka akan lebih...