Takdir itu terkadang memang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, mau tidak mau kita harus memilih jalan ikhlas untuk ditempuh. Ikhlas memang tidaklah mudah, sebagaimana kita membalikkan telapak tangan. Namun jika tidak ikhlas maka akan lebih...
^^^ Tiba di rumahnya, Nara bergegas masuk tanpa mempedulikan motornya yang masih ia taruh di teras. Ada suatu hal yang lebih penting dari hanya sekedar memasukkan motornya ke dalam garasi. Tanpa berganti pakaian, Nara langsung memasang celemek dan terjun ke dapur berkutat dengan beberapa tas belanjaannya. Mengingat hari ini adalah hari spesial, maka dari itu Nara akan membuat kue dan beberapa masakan favorit Altaf.
Nara harus gerak cepat, sebelum suaminya pulang dari rumah sakit. Jam dinding menunjukkan pukul dua lewat lima belas menit, itu artinya waktu Nara hanya sekitar 2 jam dari sekarang. Altaf biasa pulang pukul empat sore jika masuk kerja pagi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Akhirnya kegiatannya di dapur sudah selesai, ia merasa puas dengan hasil tangannya yang berhasil membuat cake favorit Altaf-red velvet. Semoga saja rasanya tidak mengecewakan, tapi jika dilihat dari penampilannya saja sudah pasti enak sekali.
"Semoga Mas Altaf suka, dan harus habis. Sayang kalo nggak habis, masak mau dibuang." Nara bermonolog sambil senyum-senyum sendiri menatap kue yang ada di meja makan.
Setelah semua masakannya tertata dengan rapi di atas meja makan, Nara memutuskan untuk mandi dan Sholat Asr. Saat mengakhiri doa usai sholatnya, Nara meraih ponsel yang masih ada di dalam tas kerjanya. Ia melihat analog jam yang ada di layar ponselnya. Disana tertera angka 16.23 WIB, Nara mengerutkan keningnya.
"Tumben sampai jam segini belum pulang,, emm kejebak macet kali ya."
Nara baru saja mau merebahkan tubuhnya di ranjang empuk. Setelah seharian kerja lanjut bikin kue dan masak buat Altaf, membuat pinggangnya meminta untuk diistirahatkan. Namun ia teringat sesuatu, "Astaghfirullah hal adziim!"
Otaknya memaksa tubuhnya untuk segera bangkit. "Motor lupa belum dimasukkan, nanti kalo Mas Altaf dateng bisa marah gara-gara motornya menghalangi jalan." gerutu Nara sambil mengayunkan langkah lebarnya menuju teras.
Baru membuka pintu, Nara dikagetkan dengan sebuah kepalan tangan yang hampir saja melayang di jidatnya.
"Eh maaf, baru aja mau diketuk ternyata udah dibuka duluan." tutur seorang lelaki yang tampak kesusahan memapah orang yang ada di sampingnya.
"Bisa langsung masuk nggak? Berat soalnya," imbuh lelaki itu agar Nara membuka akses jalan untuk mereka masuk.
Tanpa pikir panjang, Nara langsung membantu lelaki itu untuk memapah suaminya yang tampak sedang tidak sadarkan diri. Kaffa menjatuhkan tubuh Altaf pada sofa panjang di rumahnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi kak? Kenapa Mas Altaf bisa pingsan dan-" Nara melihat penampilan Kaffa dari atas sampai bawah, "Kenapa Kak Kaffa juga babak belur seperti ini?"
"Ceritanya panjang, lebih baik kamu tanya langsung aja nanti sama suami kamu ya. Maaf aku harus pergi," Kaffa keluar dari rumah itu setelah mengucapkan salam.
"YaAllah Mas, kamu kenapa jadi seperti ini sih?!" omel Nara karena khawatir dengan kondisi Altaf yang cukup mengenaskan. Wajahnya yang pucat dengan bercak merah di sudut bibirnya, rambut acak-acakan, penampilan yang sama sekali tidak mencerminkan seorang Altaf yang sangat perfeksionis.
Nara berusaha membangunkan Altaf, sambil membersihkan noda darah yang ada di sudut bibir suaminya. Sepertinya Altaf dan Kaffa bertengkar lagi, melihat kondisi mereka yang sama-sama babak belur.
Altaf melenguh, ia berusaha membuka matanya secara perlahan. Spontan tangannya memegang kepalanya, dengan wajahnya yang mengernyit.
"Alhamdulillah Mas Altaf sudah sadar, apanya yang sakit mas?" tanya Nara dengan lembut, padahal baru tadi pagi ia bertekad untuk tidak mempedulikan Altaf. Namun ia tidak setega itu melihat kondisi Altaf seperti sekarang.
"Kamu nggak perlu pedulikan aku!" lirih Altaf sembari berusaha untuk bangkit dari posisinya. Namun kembali terjatuh karena rasa pening menimpa kepalanya.
"Jangan keras kepala, mas tiduran disini aku buatkan teh hangat dulu."
Nara bergegas membuat teh hangat untuk Altaf, "Diem disitu, jangan kemana-mana!" peringat Nara dari dalam dapur yang melihat pergerakan Altaf.
"Ini tehnya mas, diminum mumpung masih hangat!" perintah Nara sambil menyodorkan secangkir teh untuk Altaf.
"Udah deh, Ra jangan pura-pura peduli!" Altaf menepis cangkir yang Nara sodorkan.
Nara meletakkan cangkir itu di meja, lalu menatap Altaf dengan heran. "Mas itu kenapa sih? Masih marah karena masalah semalam?"
"Masih belum sadar juga?" tanya Altaf dengan nada dinginnya.
Nara semakin dibuat bingung dengan sikap Altaf yang tiba-tiba berubah. Sangat tidak mungkin rasanya jika Altaf masih marah hanya perihal masalah tadi malam.
"Aku bener-bener nggak ngerti salahku apa sampai sikap mas seperti ini ke aku," bingung Nara dengan berusaha menata hatinya.
"Kamu ada hubungan apa dengan Kaffa dibelakang aku, haa?!" pertanyaan yang membuat Nara merasakan sesak di dadanya.
Bagai petir di siang bolong. Pertanyaan Altaf seperti sebuah pisau bedah yang mencabik-cabik hati Nara. Sebuah hal yang sangat menyakitkan saat orang yang kita sayang menuduh kita melakukan hal yang sama sekali tidak dilakukan. Nara heran, kenapa Altaf bisa mempunyai pikiran seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi?
"Hubungan apa? Aku sama Kak Kaffa nggak ada hubungan apa-apa,,, hanya sebatas dia sahabat suami aku. Nggak lebih," jelas Nara dengan menahan butiran yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
"Lantas buat apa dia kirim buket mawar merah buat kamu Nara!!?"
Pertanyaan Altaf yang semakin membuat Nara bingung. Buket mawar merah mana? Bahkan Nara tidak menerima buket itu sama sekali. Justru Nara tidak sengaja melihat buket itu ada di atas nakas kamar Altaf semalam. Lalu kenapa sekarang justru Nara yang disalahkan?
"Nara nggak tau apa-apa mas, justru Nara liat buket itu di kamar mas."
"Ya, aku yang nemuin buket itu di depan pintu waktu pulang kerja semalam," jelas Altaf dengan nada bicara yang mulai mereda.
"Mas liat Kak Kaffa yang taruh bunga itu disana?" selidik Nara. Altaf menggeleng.
"Kalau mas nggak liat lalu darimana mas tau kalau itu bunga dari Kak Kaffa? Ingat mas, su'udzon itu nggak baik,"
"Aku baca tulisan yang ada di bunga itu,"
Nara mengernyitkan keningnya, "Tulisan apa mas? Boleh aku liat tulisannya?" tangan kanan Nara menengadah tanda meminta sesuatu dari Altaf.
Altaf tampak merogoh sesuatu dari saku bajunya, ia mengeluarkan sebuah kertas yang berukuran tidak terlalu besar. Ia menyerahkan kertas itu pada Nara, dan perlahan Nara membuka.
Astaghfirullah... Nara menutup mulutnya dengan tangan kanannya, ia terperanjat saat membaca tulisan yang ada di kertas itu. Lelehan cairan bening kembali membanjiri pipinya.