Bagian 1

657 26 1
                                    

Bismillahirrahmanirrahim.

Update on : 15 Juli 2023

***

Welcome to my imagination.

Vote sebelum baca dan tinggalkan komentar.

Happy reading.

Bagian 1

^^^

Jam yang menempel di dinding telah menunjukkan waktu pukul 06.45 WIB pagi. Nara sudah rapi dengan setelan gamis yang senada dengan kerudungnya, ia bekerja sebagai dosen keperawatan disalah satu universitas ternama di daerah Bogor, Jawa Barat.

Perempuan berkerudung navy itu tengah menuruni tangga dengan tas dan juga beberapa buku dalam genggamannya. Usai meletakkan tas beserta bukunya di atas meja makan, ia bergegas menuju dapur yang disana sudah ada seorang perempuan paruh baya sudah berkutik entah sejak kapan.

"Pagi, Ma. Butuh bantuan?" tanya Nara sambil memeluk pinggang Jihan dari belakang.

"Tidak perlu sayang, duduk dan makan dulu aja." Balas Jihan dengan lembut.

Nara melihat banyak makanan di atas meja. Ada roti beserta beberapa selai lengkap dengan satu gelas susu coklat untuknya. Satu hal yang membuat perutnya sangat lapar, yaitu ikan balado kesukaannya. Mamanya itu hebat, tak pernah gagal dalam menyajikan makanan yang sangat lezat.

Saat sedang lahap menikmati sarapannya, Nara dikagetkan dengan kehadiran pria paruh baya yang sudah rapi dengan setelan jas berwarna hitam duduk di kursi samping kirinya.

"Mau berangkat bareng papa?" tanya Irwan dengan suara baritonnya.

Irwan bekerja di tempat yang sama dengan putri semata wayangnya itu, posisinya yang menjabat sebagai dekan fakultas kesehatan membuat Nara enggan untuk berangkat bersama dengan papanya. Bukan tanpa alasan, Nara hanya tak ingin semua rekan kerjanya beranggapan bahwa posisinya saat ini merupakan hasil campur tangan papanya, padahal untuk bisa bekerja sebagai dosen di universitas tersebut adalah perjuangan yang murni Nara usahakan sendiri tanpa ada sedikitpun keinginan untuk meminta bantuan papanya. Intinya bukan the power of orang dalam ya.

"Nara bawa motor sendiri aja, Pa." sahut Nara

Terdengar seseorang menyalakan bel rumah sambil berteriak mengucapkan salam beberapa kali. Mendengar suaranya saja Nara sudah bisa menebak siapa yang datang bertamu sepagi ini. Sungguh menyebalkan sekali, bukannya dia bisa langsung masuk saja tanpa perlu menunggu dibukakan pintu. Melihat Jihan beranjak, Nara mencegahnya.

"Biar Nara yang bukain, Mama sarapan aja!"

Entah kenapa laki-laki itu selalu berhasil membuat Nara merasa kesal dengan tingkahnya. Dia sudah sering datang ke rumah ini, bahkan bisa dibilang setiap hari tapi kenapa dia tak langsung masuk saja seperti biasanya tanpa perlu Nara repot-repot membukakan pintu untuknya.

"Assalamualaikum,," salam Altaf dengan senyum dibibirnya.

"MasyaAllah senyumnya, Astaghfirullah hal adziim." batin Nara dengan cepat memutus pandangannya pada obyek di hadapannya.

Altaf menjitak pelan kepala Nara karena salamnya tak kunjung mendapat jawaban, bukankah menjawab salam itu wajib hukumnya. Nara menjawab salam dengan tatapan tajam yang tertuju pada Altaf.

Setelah dipersilahkan masuk, Altaf berjalan mengikuti langkah Nara menuju meja makan yang masih ada papa beserta mamanya.

"Altaf? Ayo duduk, Nak. Kita sarapan bareng," ajak Jihan yang memang luar biasa baik kepada siapapun. Entah terbuat dari apa hati Jihan, mutiara pun tak dapat menandingi. Jihan juga berkata bahwa Altaf itu sudah dianggap seperti anak sendiri.

"MasyaAllah, kalau begini Altaf jadi lapar lagi, Ma. Padahal baru sarapan di rumah," ucap Altaf basa-basi sambil menatap makanan di meja.

Nara memutar bola matanya jengah, meraih tas beserta buku sambil berdiri.

"Ma, Pa. Nara berangkat sekarang ya."

Jihan menatap Nara heran, begitu juga dengan Irwan dan Altaf. Pasalnya makanannya belum habis dan susu coklat yang belum ia minum sedikitpun.

"Kok keburu sih, Ra. Habiskan dulu sarapan dan susu coklatnya, mubadzir!" Altaf mulai berceramah.

Nara tak menghiraukan penuturan Altaf, setelah mencium tangan kedua orang tuanya ia langsung bergegas keluar rumah sambil mengucap salam. Melihat hal itu, Altaf pun turut beranjak dari duduknya berniat menyusul gadis cantik yang sudah lebih dulu berjalan keluar rumah. Helm berwarna abu-abu sudah terpasang rapi di kepala Nara, namun saat hendak menaiki motor tangannya ditarik oleh Altaf.

"Berangkat bareng aja! Sekalian ada yang mau aku bicarain sama kamu, serius."

Nara mengerutkan keningnya, "Soal?"

Bukannya menjawab, Altaf malah melepas paksa helm yang dipakai Nara lalu menariknya masuk ke dalam mobil.

Dalam hati Nara masih bertanya-tanya, hal serius apa yang ingin Altaf bicarakan dengannya. Atau mungkin laki-laki itu ingin membicarakan terkait perempuan idamannya? Atau mungkin dia sudah menemukan perempuan itu? Ah entahlah, Nara tidak bisa berpikir jernih, ia terlalu takut menerima kenyataan bahwa suatu saat nanti ia akan melihat lelakinya itu bersama perempuan lain.

Namun bagaimanapun juga perasaan itu adalah anugerah dari Allah untuknya, ia yakin Allah tidak akan memberikan sesuatu kepada hamba-Nya tanpa maksud dan tujuan. Jikalau bukan Altaf, pasti yang lebih baik darinya.

"Ra, kamu denger kan barusan aku ngomong apa?" tanya Altaf

Nara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia hanya mengangguk ragu karena ia tak mendengarkan apa yang Altaf bicarakan padanya.

"Jadi gimana menurut kamu? Kamu mau?"

"Mau apa? dia ngomong apa barusan, apa jangan-jangan dia juga punya perasaan sama aku? Astaghfirullah sadar, Ra...jangan terlalu berharap pada manusia." Batin Nara

"Heii, jadi gimana tawaran aku, Ra? Kamu mau kan aku kenalin ke Dokter Kaffa?"

Deg!!

Ternyata lelaki itu masih tak mengurungkan niatnya untuk menjodohkan Nara dengan sahabatnya sewaktu kuliah. Nara diam seribu bahasa, lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan Altaf. Hatinya terasa sakit, gejolak di dada yang terasa mengiris setiap inci hatinya. Ia hanya bisa menggigit bibir bawahnya dan meremas ujung kerudungnya untuk menahan air mata yang siap meluncur ke permukaan. Entah mengapa ia bisa selemah itu jika menyangkut tentang perasaannya terhadap lelaki yang saat ini sedang duduk di sampingnya.

Hanya sabar dan lafalan istighfar yang bisa ia lakukan untuk menahan rasa sakitnya. Ia tahu Allah tak pernah salah dalam memberikan rasa sakit, karena Allah tahu Nara kuat dan hanya ia yang bisa melalui ujian tersebut.

"Nanti aku atur deh soal pertemuan kalian,"

Melihat Nara diam, Altaf menyimpulkan bahwa gadis itu menyetujui rencananya. Padahal kenyataannya Nara diam karena menahan isak agar tak diketahui oleh Altaf.

***

Jangan lupa vote dan berikan komentar

Terima kasih yang sudah membaca

Yuk berteman di Instagram!

By: elvirarismasita

Kinara dan Luka (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang