Bagian 37

151 9 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim.

Update on : 10 Februari 2024

***

Welcome to my imagination.

Vote sebelum baca dan tinggalkan komentar.

Happy reading.

Bagian 37


^^^
Altaf keluar dari kamar dengan sempoyongan, subuh tadi ia tidak ikut berjemaah di masjid. Semalaman ia tak bisa tidur, gelisah memikirkan Nara yang sedang marah padanya. Hingga membuat tahajudnya tertinggal dan subuhnya telat bangun.

Ia berjalan menuju pintu kamar Nara yang masih tertutup rapat. Jam sudah menunjukkan pukul 06.47 pagi, biasanya jam segini Nara sudah sibuk di dapur. Namun semenjak keluar dari kamarnya, Altaf tidak mendengar suara keributan dari arah dapur. Mungkin istrinya masih ada di dalam kamar.

Altaf mengetuk pintu kamar Nara, "Nara,,,?"

Belum ada jawaban dari dalam kamar, "Apa kamu belum bangun? Tolong buka pintunya dong,"

Setelah tidak mendapat jawaban, Altaf mencoba memutar knop pintu dan ternyata pintunya tidak terkunci. Ia perlahan membuka pintu dan masuk ke kamar Nara, netranya menangkap sosok istrinya yang masih meringkuk di bawah selimut tebal. Ia heran dengan hal itu, karena tak biasanya Nara masih tidur di jam segini.

Altaf berjalan mendekati ranjang, "Ra, bangun udah siang." tutur Altaf lembut, takut Nara kaget dengan kehadirannya.

Suara napas yang cepat dan tidak teratur menandakan bahwa perempuan itu tidur dalam keadaan tidak tenang. Rona wajahnya memerah, bibirnya tampak pucat. Melihat hal itu, Altaf merasa sangat bersalah atas kejadian tadi malam. Sepertinya hal itu menimbulkan rasa trauma yang cukup dalam bagi Nara.

Altaf mengelus pipi istrinya yang matanya masih terpejam, "Astaghfirullah hal adziim," tangan Altaf berpindah ke puncak kepala Nara.

Suhu tubuhnya sangat tinggi, tidurnya tampak gelisah. Altaf bergegas menuju kamarnya dan mengambil peralatan untuk memeriksa istrinya seperti termometer, stetoskop dan juga tensimeter. Sekembalinya Altaf, sayup-sayup ia mendengar Nara sedang mengigau dengan butiran keringat yang muncul di dahi dan pelipisnya.

"Jangan, jangan mas." suara lirih dari mulut istrinya.

"Nara mohon, jangan mas. Nggak!" napasnya terengah-engah.

"Hust, Nara... Tenang sayang mas nggak akan apa-apain Nara. Tenang yaa,," ucapan yang reflek keluar dari mulut Altaf, entah ia sadar atau tidak dengan panggilannya terhadap Nara barusan. Ia mulai memeriksa Nara, meletakkan termometer di ketiak sang istri.

Alarm termometer berbunyi, Altaf melihat angka 39,8°C yang tertera pada LCD-panasnya cukup tinggi. Untung saja ada obat penurun panas dalam tas kerjanya, dan juga ada sebuah plester kompres yang biasa digunakan untuk mengompres bayi yang sedang demam. Tak punya pilihan lain, Altaf segera menempelkan plester kompres tersebut pada dahi Nara. Setidaknya bisa menolong sambil menunggu Altaf membuatkan makanan agar Nara makan dan minum obat.

"Tunggu dulu yaa, mas buatin sarapan biar kamu cepet minum obat." tutur Altaf setelah memastikan plesternya menempel dengan benar.

"Lucu juga yaa, kayak bayi,," kekeh Altaf saat memandangi Nara yang terlelap dengan plester yang menempel di dahinya.

Altaf menuruni tangga menuju dapur dengan ponsel digenggamannya, ia terpaksa menghubungi Kaffa untuk mengurus semua pasiennya hari ini. Ia tak mungkin meninggalkan Nara dalam keadaan seperti itu. Usai urusannya dengan Kaffa, Altaf bergegas ke dapur mencari sesuatu yang bisa ia masak untuk istrinya. Pilihan paling sederhana, ia akan membuat bubur ayam untuk Nara.

Kemampuan di dapurnya memang tak sebagus Nara, namun ia berusaha semaksimal mungkin agar hasilnya tidak mengecewakan. Bubur sudah siap di mangkuk lengkap dengan segelas air di atas nampan, Altaf langsung membawanya ke kamar Nara.

"Ra, heii..." Altaf mengusap lembut pipi Nara, namun mata itu masih terpejam.

"Tuan putri, bangun yuk."

Perlahan Nara mengerjapkan matanya, ia mengedarkan pandangan menyetarakan cahaya disekitar. Ia kaget dengan keberadaan Altaf yang duduk di tepi ranjang. Badannya bergerak menghindari lelaki itu, namun rasa pening di kepalanya membuat pergerakan Nara terhenti.

"Aww..." pekik Nara merasakan kepalanya yang sangat sakit.

"Ra, jangan banyak gerak dulu. Nanti makin pusing, makan dulu ya habis itu minum obat." pinta Altaf sambil menyodorkan sesendok bubur ke mulut Nara.

"Nara bisa sendiri," Nara berusaha merebut sendok dari tangan Altaf.

"Buka mulutnya!" tutur Altaf dengan mempertahankan sendok dalam genggamannya.

Tak punya pilihan lain, Nara akhirnya menurut dan membuka mulutnya karena Altaf yang terus memaksanya untuk makan.

"Gimana? Enak nggak?" tanya Altaf saat Nara mulai mengunyah bubur dalam mulutnya.

"Mas beli dimana? Kok aneh rasanya,"

"Aneh ya, iya udah mas ganti yang lain aja ya. Ini dibuang aja,"

"Mas bikin sendiri?" tebak Nara.

Altaf mengangguk, "Tunggu ya, mas belikan di luar aja."

Nara mencekal tangan Altaf, "Jangan, mubadzir. Itu masih bisa di makan kok,"

Ada setitik rasa bahagia di hati Nara setelah mengetahui bahwa Altaf berusaha membuatkannya bubur pagi ini. Meskipun rasanya tak seenak bubur pada umumnya, apalagi ditambah dengan lidah Nara yang terasa pahit. Semakin membuat rasa bubur itu menjadi tidak karuan.

"Sini! Biar Nara makan sendiri." tutur Nara sambil meraih mangkuk dari tangan Altaf.

Altaf kembali duduk di tepi ranjang, "Biar mas suapin ya?!" ujar Altaf.

Altaf menggeser duduknya untuk lebih dekat dengan Nara, namun dengan cepat Nara juga menggeser tubuhnya menciptakan jarak diantara mereka. Altaf yang menyadari hal itu merasa menyesal akan perbuatannya yang membuat istrinya takut berada di dekatnya. Seorang suami yang harusnya bisa menjaga istrinya dengan baik dan membuatnya merasa nyaman di sampingnya. Kini malah sebaliknya, sejak kejadian semalam Nara merasa takut berada di dekat Altaf.

"Maaf jika perlakuan mas semalam membuat kamu merasa ketakutan sampai sakit seperti ini,"

"Mas tau, mungkin nggak semudah itu kamu bisa maafin mas. Tapi mas janji hal serupa tidak akan pernah terjadi di kemudian hari. Sesulit apapun itu, mas mohon maafin mas."

Mendengar suara Altaf memohon dengan suara yang bergetar, tak terasa bulir bening menetes membasahi pipinya yang tampak pucat. Perasaan yang sulit diartikan, ia tak tega melihat Altaf memohon untuk dimaafkan, namun perasaannya juga tak bisa dibohongi bahwa ia kecewa dan sakit mengingat perlakuan Altaf yang tidak menghargai dirinya sebagai seorang istri. Mengingat itu semua membuat kepala Nara terasa seperti mau pecah.

Nara berusaha bangkit dari posisi tidurnya, ia berniat pergi ke kamar mandi untuk menghindari Altaf dan juga mencuci mukanya agar terlihat lebih segar.

"Mau kemana? Mas bantu ya?" Altaf merangkul tubuh Nara untuk ia papah, namun di tepis oleh Nara.

"Nara bisa sendiri," ujar Nara ketus.

"Tapi kamu lagi lemes, Ra. Sudah sini mas bantu," Altaf kembali berusaha meraih tubuh Nara.

"Nara bisa sendiri mas!"

Altaf menyerah, ia membiarkan Nara berjalan tertatih dengan tangan yang berpegangan di sepanjang dinding kamar hingga tubuh itu menghilang di balik pintu kamar mandi. Tak berselang lama, terdengar suara benda terjatuh dari dalam kamar mandi.

"Naraaa,," Altaf terperanjat.

***

Jangan lupa vote dan berikan komentar

Terima kasih yang sudah membaca

Yuk berteman di Instagram!

Kinara dan Luka (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang