Bismillahirrahmanirrahim.
Update on : 19 Juli 2023
***
Welcome to my imagination.
Vote sebelum baca dan tinggalkan komentar.
Happy reading.
Bagian 5
^^^
Alarm yang dipasang oleh Nara setiap harinya kembali berdering, menandakan saat ini adalah pukul tiga dini hari. Nara terbangun sambil mengucek matanya yang sedikit bengkak. Kepalanya terasa berat. Nara merasa sangat bodoh jika mengingat alasannya tertidur semalam, lelaki itu kembali membuat air matanya meluap sampai ia tertidur. Benar-benar hal yang konyol, Nara menangisi laki-laki yang bahkan tidak mengetahui bahwa ia menyukainya.
Dinginnya udara malam tidak menyurutkan niat Nara untuk mengambil air wudhu lalu menunaikan sholat sunnah Tahajud yang sudah terbiasa ia lakukan setiap malamnya.
Selepas sholat Subuh sekitar pukul setengah enam, Nara turun ke lantai bawah menghampiri Jihan yang sudah lebih dulu berkutik di dapur untuk menyiapkan sarapan.
"Pagi, Ma. Mau masak apa kita hari ini?" tanya Nara sambil memeluk Jihan dari belakang.
Kaget dengan kehadiran sang putri membuat Jihan membalikkan tubuhnya menghadap Nara. Dengan tatapan heran karena melihat penampilan putrinya yang masih mengenakan piyama lengkap dengan sandal kelincinya, "Kok tumben belum siap-siap, nggak ke kampus hari ini?"
"Nggak ada jam ngajar hari ini, Ma."
Kegiatan masak-memasak telah usai, semua makanan sudah terhidang rapi di atas meja makan.
"Pa, makanan sudah siap nih. Sarapan yuk!" ajak Nara pada Irwan yang belum terlihat batang hidungnya sejak tadi.
Tak berapa lama, pintu kamar lantai bawah terbuka dengan memunculkan sosok pria bertubuh tinggi besar yang sudah rapi dengan setelah jas yang dia kenakan. Kegiatan sarapan mereka hari ini berjalan lancar, tanpa adanya gangguan dari seseorang yang tak pernah bosan mengusik kehidupan Nara sekeluarga, siapa lagi kalau bukan Altaf.
Tapi ngomong-ngomong kemana lelaki itu, bukannya semalam dia sendiri yang bilang bahwa akan menjemput Nara pagi ini. Lantas kemana dia tumben jam segini belum datang.
Terdengar suara bel rumah, menandakan ada seorang tamu yang datang. Nara menebak bahwa yang datang adalah Altaf, namun disisi lain ia heran biasanya selain memencet bel lelaki itu juga berteriak mengucapkan salam. Berbeda dengan ini, seseorang di luar sana hanya memencet bel beberapa kali.
"Itu pasti Altaf, minta tolong bukain ya, Nak!" pinta Irwan pada Nara yang masih duduk tampak memikirkan sesuatu.
Pintu terbuka, menampilkan sesosok gadis cantik dengan rambut panjang terurai yang tampak umurnya tidak berbeda jauh dari Nara. Nara memperhatikan gadis itu dari atas hingga bawah, mencoba mengingat siapa gadis yang sedang berdiri dihadapannya itu.
"Permisi apa benar ini rumah Om Irwan dan Tante Jihan?" tanya gadis yang sedang membawa koper serta secarik kertas digenggamannya.
Nara mengangguk, senyum gadis itu mengembang. "Berarti ini Kak Nara ya?"
"Siapa tamunya, Nak?" menunggu Nara yang tak kunjung muncul, Jihan menyusul putrinya ke pintu depan rumah mereka.
"Pagi tante, masih ingat sama aku?" tanya gadis itu pada Jihan.
Jihan tampak berpikir, mencoba mengingat siapa gadis yang sedang berdiri di hadapannya itu. Beberapa detik Jihan tak menemukan jawaban dalam pikirannya.
"Viola, Tan."
"MasyaAllah, Vio apa kabar?"
Bukannya menjawab, gadis itu malah menghambur ke dalam pelukan Jihan dengan tangis sesenggukan. Nara yang melihat kejadian itu tampak bingung, sebenarnya apa yang terjadi pada sepupunya itu sehingga dia menangis dalam pelukan mamanya.
Flashback On!
Seorang gadis berusia 19 tahun tampak begitu menyedihkan. Mata sembab dan basah, hidung memerah, serta rambut yang berantakan. Sudah seharian ia menangis terisak dengan sebuah foto berbingkai kayu yang ada dalam pelukannya.
Hari ini adalah hari paling kelam bagi Viola, karena ia harus kehilangan orang-orang yang sangat ia sayangi. Kecelakaan tragis itu merenggut nyawa kedua orang tuanya sekaligus. Orang tuanya pergi tanpa pamit terlebih dahulu. Hari ini adalah hari paling berat bagi Viola, ia harus menerima sebuah kenyataan pahit jika orang tuanya telah pergi dan tak akan kembali untuk selama-lamanya.
Airmata itu terus mengalir deras di pipi sang gadis. Meski sudah seharian ia menangis, rasanya airmata itu belum juga mengering. Tetes demi tetes airmata membasahi sebuah foto yang saat ini sedang ia tatap dengan tatapan sendu.
"Vio mau hidup sama siapa disini pa, ma? Vio nggak punya siapa-siapa selain papa, mama sama mbok yem."
Gadis itu hanya menghabiskan waktu bermonolog dengan sebuah foto sepasang suami istri yang sedang tersenyum dalam genggamannya.
"Vio ikut ya,"
Sebuah cutter kecil berhasil menggores luka dipergelangan tangan kiri gadis itu. Baju putih yang ia kenakan kini dipenuhi noda merah, sepersekian detik kemudian ia pun tak ingat dengan apa yang selanjutnya terjadi padanya. Harapannya hanya ingin segera bertemu dengan orang tuanya.
Semakin hari keadaan Viola semakin membaik, ia pun sudah mulai bisa menerima kepergian orang tuanya. Pagi itu saat Mbok Yem merapikan barang-barang di kamar majikannya, ada secarik kertas yang tak sengaja terjatuh dari album foto di atas nakas. Kertas itu berisikan sebuah alamat beserta nama pemilik alamat tersebut, Mbok Yem baru menyadari saat membaca alamat tersebut bahwa dulu majikan perempuannya pernah bercerita kalau ia memiliki satu saudara kandung perempuan bernama Jihan.
Flashback Off!
Setelah mendengar cerita dari Viola, Jihan tak menyangka bahwa adiknya, keluarga satu-satunya yang ia miliki pergi secepat itu. Bahkan ia sangat menyesali dirinya yang tak turut mengantar adiknya ke peristirahatan terakhirnya. Mereka memang berpisah cukup lama karena Jihan yang tinggal di Bogor dan adiknya, Kinan yang harus ikut suaminya tinggal di luar negeri.
"Kenapa Vio nggak kabarin tante?" tanya Jihan dalam isaknya.
"Maafin Vio tan, hari itu benar-benar menyakitkan bagi Vio hingga Vio tidak bisa memikirkan apapun selain papa dan mama."
Lagi-lagi Jihan menarik tubuh mungil keponakannya itu dalam pelukan, "Vio sudah tidak punya siapa-siapa lagi, tan." lirih Viola dalam pelukan Jihan.
"Vio nggak sendiri nak, ada Tante, Om dan juga Kak Nara disini. Kita semua keluarga Vio, kamu jangan khawatir ya!" mengusap punggung keponakannya sayang.
***
Jangan lupa vote dan berikan komentar
Terima kasih yang sudah membaca
Yuk berteman di Instagram!
By:elvirarismasita
KAMU SEDANG MEMBACA
Kinara dan Luka (On Going)
Teen FictionTakdir itu terkadang memang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, mau tidak mau kita harus memilih jalan ikhlas untuk ditempuh. Ikhlas memang tidaklah mudah, sebagaimana kita membalikkan telapak tangan. Namun jika tidak ikhlas maka akan lebih...