Langit siang hari yang biasanya cerah berawan kini terlihat mendung. Beberapa awan hitam menghiasi langit dan berniat menurunkan hujan kapan saja.
Suasana mendung menyelimuti pemakaman Jonathan Damares. Membuat suasana semakin terasa suram dan menyedihkan.
Pria yang dinyatakan kritis itu pada akhirnya menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit.
Histeris, sosok wanita cantik yang tak henti-hentinya menangisi pemakaman sang putra tercinta yang telah dihiasi bunga indah. Tubuh Jonathan sudah terkubur di dalam, namun Lilian masih berusaha mengobrak-abrik tanah merah itu.
Jonathan sudah melewati masa kritisnya. Lilian ingat semalam dokter membeberkan perkembangan kondisi putranya. Hingga pagi-pagi buta saat dirinya terlelap, ada sekitar sepuluh dokter dan perawat yang bergegas menuju ruang ICU.
Jonathan mengalami kejang-kejang hebat. Tidak diketahui penyebabnya namun mereka menduga pria itu syok jantung. Memang bukan kondisi yang wajar mengingat pengawasan dan pemantauan kondisi kesehatan pria itu di lakukan dengan ketat.
Sayang, dokter dan alat-alat bantu yang dikerahkan tak bisa mengembalikan detak jantung pria itu. Hingga Jonathan dinyatakan meninggal dunia setelah 30 menit lebih diberikan perawatan darurat.
Kehilangan seseorang yang berharga memang menyakitkan. Dibalik kacamata hitamnya, Jeffrian hanya menatap datar kuburan itu. Dia tidak bisa menangis lagi.
Lagi pula menangisi siapa? Jonathan? Mustahil.
Anak 16 tahun yang tak punya simpati saat Jeffrian kehilangan ibunya. Alih-alih memberikan bela sungkawa, ibu dan anak itu justru tertawa di atas penderitaanya.
Seharusnya sekarang lah waktu yang tepat untuk Jeffrian menertawakannya. Oh tentu dia tidak akan melalukan itu. Melihatnya saja sudah cukup melegakan.
Jeffrian melihat ke arah pria yang tengah berdiri bak patung di ujung pusara anaknya—Bara Damares. Dia ingin sekali bertanya, bagaimana rasanya kehilangan anak yang dia besarkan sepenuh hati?
Limpahan perhatian yang Bara berikan pada Jonathan menjadi sia-sia bukan? Orang yang akan mewarisi perusahaan tercintanya sudah tiada.
Saat ratusan orang mulai membubarkan diri dari sana. Suasana sepi mulai terasa. Jeffrian merasakan lengannya menghangat karena digenggam kian erat oleh Winara.
Gadis itu bersikap dewasa. Terus menenangkannya dan memberi perhatian agar dirinya tak merasakan kesedihan.
Sejatinya tak ada sedikitpun kesedihan yang ada di hati Jeffrian. Dia hanya merasakan kelegaan dan kebahagiaan.
"Ayo pulang kak."
"Ya, ayo."
Jeffrian hendak pergi dari sana sebelum seseorang menahan lenganya. Tentu bukan Winara karena sekarang tangan gadis itu dia genggam erat-erat.
"MAU KEMANA KAMU JEFFRIAN!"
Lilian—wanita itu mencengkeram kuat kemeja hitam Jeffrian. Menatap putra kedua suaminya itu dengan tatapan tajamnya.
"Kau pembunuh sialan! Kau telah membunuh putraku!"
Lagi-lagi ucapan itu. Tentang Jeffrian yang membunuh Jonathan. Itu tidak masuk akal karena Jeffrian tak pernah sedikit pun menyentuh Jonathan.
Semua orang tahu itu. Jeffrian tidak tertarik dengan keluarganya dan bisnis Damares. Dia hanya tertarik memasak dan mengembangkan restorannya.
"Lepaskan bang Jeff, bunda!" Sean yang sejak tadi menahan kesedihanya tak bisa membiarkan keributan ini terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession Series 3; Light and Shadow
Romance❝She fell first but he fell harder, harder, and harder❞ - by milkymiuw