04. Problematika Hidup Sandrina

74 10 48
                                    

Sandrina memasuki kelas dengan geram. Ia melangkah menuju tempat duduk Vino yang berada di barisan depan. Dibantingnya buku yang dibawa tepat di depan Vino. Seketika semua orang di kelas yang tadinya sibuk dengan kegiatan masing-masing, mengalihkan atensi pada Sandrina. Sebagian orang di kelas sudah membicarakan Sandrina tentang fotonya bersama Irawan yang disebar seseorang. Kini, gadis itu menambah keviralannya dengan berbuat onar di kelas.

“Maksud lo apa bohongin gue?” tanya Sandrina dengan suara keras.

Vino menghentikan kegiatannya mengerjakan soal fisika. Perlahan, kepalanya mendongak dan menatap sosok di depannya.

“Buat kebaikan kita semua,” jawabnya santai.

Jawaban yang Sandrina dengar semakin membuatnya ingin mengamuk. Kemudian, ia menggebrak meja sebagai luapan kekesalannya.

“Nggak ada hubungannya sama—”

Tiba-tiba Vino meraih lengan Sandrina dan membawanya keluar kelas. Vino tentu tak ingin membuat keributan di kelas, apalagi ia adalah Ketua Kelas. Pemandangan tersebut semakin menyita perhatian murid seisi kelas. Mereka saling membuat asumsi tentang apa yang hendak dilakukan sang ketua kelas pada murid baru tersebut.

“Lepasin tangan gue!” Sandrina memberontak.

Vino tak memberi reaksi yang berarti. Pemuda itu terus berjalan menyusuri koridor hingga dekat tangga. Setelah itu, baru Vino berhenti dan melepaskan tangan Sandrina.

“Lo bisa, nggak, nggak usah bikin masalah?” ucap Vino pelan, tetapi terdengar tegas. Tentunya ekspresi serius Vino dilengkapi dengan tatapan mata yang tajam.

“Gue bikin masalah atau enggak, itu urusan gue! Lo nggak berhak ikut campur!” bantah Sandrina tanpa rasa takut sedikitpun.

“Lo dengerin gue! Kalo lo bikin masalah satu kali, itu urusan lo. Hukuman cuma elo yang nanggung. Tapi kalo lo bikin masalah untuk yang kedua kali, dan seterusnya, bakal berimbas ke semua orang di kelas. Poin semua orang yang sekelas sama lo bakal dikurangi, termasuk gue,” jelas Vino sembari menekankan kata per kata

Sandrina berdecih. Ia membalas tatapan Vino dengan tatapan yang tak kalah tajam. “Apa lo bisa diem aja, ketika lo dijadiin bahan gunjingan orang lain? Apa lo bakal diem aja kayak nggak tahu apa-apa?”

“Urusin aja urusan lo! Nggak usah sok ngurusin urusan gue!” Sandrina meninggikan suara seraya menunjuk wajah Vino.

Lalu, gadis berambut panjang itu berlari menuruni tangga. Vino memandang punggung Sandrina yang semakin menjauh. Meski terkesan suka membuat masalah, sebenarnya Vino sedikit kagum dengan keberanian Sandrina. Vino jadi berpikir, seandainya ia memiliki sedikit saja keberanian seperti Sandrina, mungkin ia tak akan pernah kehilangan dua sahabatnya.

Sandrina menyusuri koridor lantai satu tanpa tujuan. Ia sudah muak berada di sekolah. Sejak awal, Sandrina tak setuju untuk pindah. Pindah tempat tinggal maupun sekolah, Sandrina tidak menginginkannya. Sampai sekarang pun, gadis itu masih merajuk pada ibu dan neneknya karena hal tersebut.

Langkah kaki Sandrina terhenti tatkala sebuah pagar tembok menghalangi jalan. Ya, tanpa terasa Sandrina sudah berjalan hingga ke belakang gedung IPA. Pikiran yang kacau membuatnya nekat memanjat pagar tembok sebisanya. Hingga berada di puncak, wajah Sandrina disambut dengan hembusan angin sejuk dan hamparan danau yang cukup luas. Dua hari bersekolah di SMA Mahardika, ia baru tahu kalau di belakang sekolah ada danau. Ya, meski letak danau dan sekolah dibatasi dengan pagar tembok setinggi tiga meteran.

Pemandangan indah danau membuat Sandrina merekahkan sedikit senyuman. Rencana untuk bolos, sepertinya dibatalkan karena menemukan tempat yang pas untuk meluapkan kekesalan.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang