Sandrina memasuki kelas dan melihat Irawan sudah duduk di kursi VIP-nya. Kegiatan Irawan masih sama, yaitu tidur dengan nyaman di pagi hari. Sandrina duduk dan mulai mengeluarkan buku untuk mengisi waktu luang sebelum jam belajar mandiri pagi dimulai. Gadis itu menghentikan kegiatan tatkala buku tebalnya sudah bertengger di atas meja. Secara tak sengaja, sebelum duduk tadi, ia melihat tengkuk Irawan yang diperban. Ah, entah apa yang telah terjadi. Seingat Sandrina, semalam Irawan masih baik-baik saja saat pulang dari rumahnya.
Sandrina melirik ke belakang, memastikan penglihatannya. Memang benar, tengkuk Irawan diperban. Ia ingin bertanya tentang luka itu. Akan tetapi, Sandrina harus menahan diri. Ia dan Irawan sudah sepakat untuk bersikap seperti kemarin-kemarin, seolah mereka berdua belum berbaikan agar si peneror tak curiga.
“Dia kenapa lagi, sih?” bisik Sandrina.
Tak lama kemudian, terlihat Maya memasuki kelas dan tersenyum melihat Sandrina sudah masuk sekolah. Gadis itu mempercepat langkah dan duduk di tempatnya.
“Udah sembuh, San?” tanya Maya.
“Udah, May. Cuma sakit perut karena datang bulan doang, kok,” jawab Sandrina.
Maya melirik Irawan dan Sandrina secara bergantian. Ia seperti ingin bertanya sesuatu pada Sandrina tentang Irawan, tapi mengurungkan niat, sebab hubungan Irawan dan Sandrina sedang tak baik.
“Kemarin Nando nyariin lo. Waktu gue kasih tahu kalo lo nggak masuk karena sakit, dia keliatan khawatir gitu. Kayaknya, Nando ada rasa sama lo, deh,” ujar Maya dengan tersenyum.
“Rasa apaan? Rasa stroberi?” balas Sandrina, malah menjadikannya sebagai candaan.
Sandrina menoleh, menatap Maya intens. “May, pas lo ngambil buku tugas di loker gue, lo liat jepit rambut gue di situ, nggak?”
“Jepit rambut? Kayaknya enggak, deh, San,” jawab Maya.
“Ya udah, deh. Kayaknya gue yang lupa naruhnya.” Sandrina kembali ke posisi semula. Ia mulai membuka buku dan membacanya.
“Adik Ipar!” teriak Sony dari depan pintu dengan heboh seperti biasa.
Pemuda itu berlari menuju tempat duduknya dan terlihat antusias. Sandrina dan Maya menoleh ke arah Sony sembari menyipitkan mata.
“Lo keliatan semangat banget, Son,” celetuk Maya.
“Gue lagi bahagia, karena sebelum masuk kelas, gue papasan sama Yeslyn di lapangan. Dan lo tahu, Yeslyn manggil gue dan tersenyum ke gue. Betewe, dia nitip ini buat Adik Ipar.” Sony menunjukan satu kotak makan di tangannya pada Maya dan Sandrina yang penasaran.
“Gue kira habis menang togel. Ternyata cuma disapa dan disenyumin sama Yeslyn. Dasar bucin!” Sandrina menggeleng seraya kembali ke posisi semula. Maya juga ikut menggeleng dan kembali melanjutkan kegiatannya.
Sony meletakkan kotak makan yang dibawa ke atas kepala Irawan, agar pemuda itu segera bangun. Namun, ketika melihat tengkuk Irawan yang diperban, Sony lekas memindahkan kotak itu ke samping.
“Adik Ipar, tengkuk lo kenapa?” tanya Sony, tampak khawatir.
Perlahan Irawan membuka mata. Ia memandang Sony dan membuka kotak makannya. “Cuma luka kecil. Nggak sengaja jatuh.”
Setelah membuka kotak makan, terlihat makanan yang didominasi sayuran dan beberapa pil yang bertengger di sana. Irawan menghela napas. Tadi pagi ia sengaja pura-pura lupa tak membawa kotak makan itu. Akan tetapi, Pak Karjo pasti mengetahuinya dan memutuskan untuk mengantarnya ke sekolah.
“Yeslyn ini perhatian banget, ya? Sama saudara kembarnya aja perhatian, apalagi sama suaminya kelak,” kata Sony.
“Tapi kayaknya suaminya kelak bukan elo, deh.” Irawan membalas dengan ekspresi julid.
![](https://img.wattpad.com/cover/353957983-288-k990333.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Stop [END]
Novela JuvenilSandrina Laily dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis. Ia pindah sekolah dan tempat tinggal karena perceraian kedua orang tuanya. Di sekolah barunya, Sandrina mengenal Irawan Pradana Dewangga, seorang murid laki-laki yang suka...