06. Ada Apa Antara Irawan dan Vino?

70 10 42
                                    

Sandrina melahap semangkuk bakso mercon traktiran Sony. Di siang yang panas, makan bakso mercon ditambah es teh memang nikmat. Ah, Sandrina bisa melupakan diet untuk sementara demi memuaskan lidah dan perutnya. Maya yang duduk di samping Sandrina menatap Sandrina heran, sebab Sandrina makan layaknya orang kelaparan.

“San, lo makannya jangan nggragas gitu, dong! Noh, Maya liatinnya sampe heran.” Sony yang baru datang dengan sepiring nasi cumi duduk di meja yang sama dengan Sandrina dan Maya.

Maya segera mengalihkan pandangan dari Sandrina. Ia seperti takut menyinggung teman sebangkunya tersebut. Nama Sandrina cukup populer di sekolah setelah fotonya dengan Irawan tersebar di grup chat sekolah. Selain itu, keberanian Sandrina juga ikut andil jadi penyebabnya. Ah, menyinggung Sandrina sama saja dengan mempersulit diri.

“May, lo nggak perlu ngerasa takut sama siapapun! Lagian, gue nggak bakalan makan lo, kok,” ujar Sandrina, berusaha memasang wajah ramah.

“Bener! Lo juga nggak perlu takut sama Irawan! Dia nggak seserem itu, kok.” Sony menimpali.

“Iya,” balas Maya seraya menunduk. Kemudian, menyedot es jeruk. Ia melirik Sandrina dan Sony secara bergantian. Di kelas yang cukup asing baginya, Maya sedikit beruntung, sebab Sandrina dan Sony tak mendiamkannya seperti murid lain.

Tak lama berselang, beberapa murid laki-laki dan perempuan memasuki kafetaria. Mereka terlihat terburu-buru, seolah dikejar waktu. Melihat gelagat murid-murid tersebut, Sandrina dan Sony sedikit heran.

“Eh May, mereka murid dari kelas mana? Gue sekolah di sini udah tiga hari, tapi kayak masih asing sama muka-mukanya.” Sony bertanya setelah menelan makanan.

“Mereka itu murid-murid dari Kelas Kompetisi. Jarang-jarang mereka bisa istirahat bareng sama murid dari kelas biasa kayak kita,” beber Maya.

“Kelas Kompetisi?” Sandrina tampak penasaran.

“Di sekolah kita, ada yang namanya Kelas Kompetisi, yaitu kelas yang isinya murid-murid cerdas di atas rata-rata. Mereka digembleng buat belajar gila-gilaan tiap hari. Ibaratnya, Kelas Kompetisi itu kayak harga diri sekolah kita. Mereka diharuskan dapet nilai sempurna dan masuk universitas terbaik di luar negeri setelah lulus,” jelas Maya yang lebih tahu daripada Sandrina dan Sony.

Mendengar penjelasan Maya, Sandrina dan Sony hanya mengangguk. Sejak awal, Sony sudah mendengar tentang Kelas Kompetisi. Hanya saja, ia belum begitu paham seperti apa. Sementara Sandrina malah tidak tahu jika di sekolah barunya ada kelas semacam itu. Ini adalah kali pertama Sandrina mendengar tentang Kelas Kompetisi.

“Nggak kebayang kalo gue jadi salah satu dari mereka,” ucap Sony, memasang ekspresi ngeri.

“Kalo mau masuk kelas kompetisi, nilainya harus bisa lebih tinggi dari nilai murid peringkat terendah di sana. Dan katanya, nilai murid dengan peringkat terendah di sana adalah sembilan di setiap mata pelajaran.” Maya kembali menjelaskan.

Sony hampir tersedak mendengarnya. Beruntung, ada es teh milik Sandrina yang bisa diminum sekalipun tanpa izin dulu. Kembali ke topik pembicaraan, sembilan di setiap mata pelajaran? Bagi Sony, sembilan adalah nilai tertinggi yang bisa didapatnya dengan menyalin jawaban dari murid paling pintar di kelas.

“Gila! Otak macam apa yang dimiliki penghuni Kelas Kompetisi?” Sony semakin dibuat ngeri dan merinding.

Dalam kegiatan berbincang-bincang seputar Kelas Kompetisi, seorang murid perempuan datang menghampiri. Gadis dengan tanda nama Yeslyn Jovita Dewangga itu berdiri di samping Sony.

“Sorry, gue boleh minta tisunya, nggak? Kebetulan tisu yang di sana habis,” kata Yeslyn, menampakkan wajah ramah disertai senyuman.

Sony langsung mengambilkan kotak tisu yang bertengger tepat di depannya. Lalu, memberikannya pada Yeslyn. “Ini.”

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang