Sony membuka pintu kamar Irawan pelan-pelan. Ketika pintu terbuka sempurna, pemuda itu terperangah melihat kamar besar sang teman. Sudah cukup ia terkagum-kagum melihat semua perabotan dan barang-barang di dalam rumah besar dan mewah keluarga Dewangga. Kini, Sony kembali dibuat kagum dengan penampakan dan isi kamar cucu laki-laki keluarga Dewangga.
Ia memasuki kamar sambil melihat barang-barang yang mengisi ruangan besar itu. Ada berbagai perangkat gim yang terletak di ujung ruangan, teropong bintang, seperangkat komputer, berbagai alat musik seperti gitar, bass, drum, sampai organ, ranjang besar yang empuk, tempat belajar yang nyaman, deretan almari kaca berisi barang-barang branded, dan buku-buku yang tertata rapi di rak.
“Gila, Irawan beneran punya segalanya,” bisik Sony.
Pemuda tinggi itu menyentuh peralatan gim yang ia yakini adalah keluaran terbaru yang tak semua orang bisa miliki. Akan tetapi, Irawan bahkan mungkin sudah bosan memainkannya.
Kini, Sony beralih ke tempat alat musik yang berjejer. Ia meraih gitar dan mulai memetiknya. Di saat bersamaan, mendadak ada seseorang yang mengetuk pintu dari luar. Sony menghentikan kegiatan dan kembali meletakkan gitar ke tempat semula. Kemudian, berjalan menuju pintu dan melihat dari lubang kunci, siapa yang mengetuk pintu.
“Ini gue, Yeslyn!” kata Yeslyn dengan suara pelan dari depan pintu.
Secepatnya Sony membuka pintu setelah tahu orang itu Yeslyn. Sejak awal ia memang sudah diberitahu Yeslyn, bahwa ia tak boleh sembarangan membuka pintu, kecuali untuk Yeslyn. Sebab jika sampai ada orang lain yang tahu kalau Sony menyamar sebagai Irawan, mereka bisa melapor ke Nyonya Riana dan membuat Sony maupun Irawan dalam kesulitan.
Setelah pintu terbuka, Yeslyn segera masuk. Tak lupa, ia menutup kembali pintu kamar agar tak ada yang melihat penampakan Sony.
“Lo pasti laper, 'kan? Gue bawain camilan sama jus sambil nunggu Irawan pulang.” Yeslyn menyodorkan sebuah nampan pada Sony.
“Iya. Makasih, Lyn!” balas Sony seraya menerima nampan tadi.
Yeslyn melihat seisi kamar Irawan. Jujur saja, ini adalah kali pertama Yeslyn masuk ke ruangan besar itu. Di rumah keluarga Dewangga, yang menempati kamar dengan ukuran besar hanya Nyonya Riana dan Irawan. Bahkan kamar Irawan tampak lebih mewah dari kamarnya dengan beberapa barang yang mengisi di dalamnya.
“Lo lakuin aja apa yang lo pengen! Gue keluar dulu!” pamit Yeslyn.
Sebenarnya Sony ingin mencegah Yeslyn pergi agar bisa mengobrol banyak dengannya. Akan tetapi, Sony agak sungkan, karena mereka tak dekat. Ya, selama ini Sony hanya bisa mengagumi sosok Yeslyn dari kejauhan. Keduanya jarang ada interaksi yang berarti.
“Eh, tunggu!” seru Sony dengan suara agak gemetar. Ia meletakkan nampan yang dibawa ke atas meja.
Yeslyn membalikkan badan, memandang Sony penuh tanya. “Iya. Ada apa, Son?”
Sony agak kikuk. Bibirnya mendadak terasa kaku. Sungguh berhadapan dengan Yeslyn membuat hati Sony berada antara bahagia, bingung, dan gemetar.
“Eum ... jadi ... eum ... gue butuh temen ngobrol. Lo bisa, nggak, nemenin gue di sini sampe Irawan pulang?” tanya Sony.
Yeslyn melirik arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangan. Jadwal belajarnya masih tiga puluh menit lagi. Tidak masalah menemani Sony di sana sembari menunggu Irawan pulang.
“Boleh,” jawab Yeslyn disertai senyuman.
Yeslyn duduk di sofa empuk yang berada di dekat jendela. Dari situ, ia bisa melihat langit yang berwarna jingga. Beberapa bintang sudah mulai menampakkan diri, menyambut datangnya malam. Sony duduk di kursi samping Yeslyn dengan sesekali melirik gadis itu. Meski Sony selalu gembar-gembor tentang perasaannya pada Yeslyn di depan teman-temannya, nyatanya ia tidak berani banyak tingkah di depan Yeslyn.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Stop [END]
Novela JuvenilSandrina Laily dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis. Ia pindah sekolah dan tempat tinggal karena perceraian kedua orang tuanya. Di sekolah barunya, Sandrina mengenal Irawan Pradana Dewangga, seorang murid laki-laki yang suka...