58. Peran Irawan di Hubungan Sandrina dan Vino

23 5 60
                                    

Vino menulis jawaban dari soal matematika yang belum dimengerti saat ia masih berada di Kelas Kompetisi. Materi tersebut baru akan dipelajari nanti di jam pelajaran ketiga dan keempat di kelas biasa. Sebagai mantan murid Kelas Kompetisi selama dua bulanan, Vino ingin menunjukkan sedikit kemajuan. Meski saat ini namanya cukup populer di sekolah dan jadi bahan gibah murid lain, Vino tidak peduli. Ia ingin tetap fokus belajar dan berusaha tidak mempedulikan hal-hal yang tidak penting.

Suasana perpustakaan masih sepi. Di sana hanya ada petugas perpustakaan dan Vino. Vino sengaja belajar di sana, sebab lebih tenang dan sepi. Jika berada di kelas, pemuda berkulit putih itu akan terus mendengar bisik-bisik orang lain tentangnya. Dan itu sangat mengganggu.

Vino menghela napas untuk yang ke sekian kali. Ia benci matematika. Ia benci saat harus menulis jawaban panjang, tetapi hasilnya tidak sesuai. Ia benci menghafal rumus, tetapi dalam penggunaannya, ia harus memutar otak lagi untuk memahami soalnya. Ah, otak Vino memang kurang cocok di matematika.

“Salah lagi,” bisiknya kesal.

Vino membalik satu lembar buku tugasnya. Ia kembali menulis jawaban dengan rumus yang sama, tetapi memasukkan angka-angka ke tempat berbeda dan menguraikannya. Sebenarnya Vino sudah lelah belajar. Namun, ia tetap memaksakan diri. Jujur saja, Vino masih belum bisa menerima fakta, bahwa yang mendapat tempat di Kelas Kompetisi bukan dirinya.

Seperti sebelumnya, jawaban yang Vino dapat masih belum sesuai dengan jawaban yang tersedia. Kepalanya sudah terasa panas, sebab lelah belajar dan dicampur dengan pikirannya yang terus kesal pada kemampuannya. Tangan putih Vino mengepal kuat. Rasanya ia ingin meninju apa saja untuk melampiaskan kemarahan.

Selang beberapa saat, ada sebuah drone yang mendekat pada Vino. Di atas pesawat mini tanpa awak itu, tampak sebuah kertas. Vino mengambil kertas tersebut dan membukanya. Terlihat sebuah tulisan yang tidak asing.

[Ngopi di rooftop, kuy! Jangan belajar terus! Nambah pinter kagak, jadi gila iya!]

Vino tersenyum simpul. Tanpa diberitahu, Vino tahu, bahwa orang yang mengendalikan drone dan menulis pesan adalah Irawan. Irawan seolah memiliki indera keenam, sehingga tahu apa yang Vino lakukan saat ini.

“Tumbenan jam segini Irawan nggak tidur,” bisik Vino.

Vino membereskan buku dan beberapa alat tulis lainnya. Kemudian,  memasukkannya ke dalam tas. Pemuda itu berjalan keluar perpustakaan dengan ekspresi yang lebih ceria dari sebelumnya.

Ketika melewati koridor, Vino berusaha untuk tak peduli dengan tatapan murid lain padanya. Walau sebenarnya murid laki-laki itu merasa tidak nyaman. Tampaknya berita tentang dikeluarkannya Vino dari Kelas Kompetisi sudah menyebar ke seluruh sekolah, bahkan anak-anak dari kelas IPS. Ini memang memalukan, tetapi Vino akan berusaha untuk menahan rasa malu ini, karena seiring berjalannya waktu, orang-orang akan melupakannya. Jadi, ia tidak perlu khawatir dan hanya harus tetap bertahan.

Vino menaiki tangga hingga ke lantai paling atas. Setelah itu, ia melangkah menuju rooftop. Ketika sampai di depan pintu rooftop, Vino berhenti sejenak dan menghela napas. Ia mengatur ekspresi wajahnya agar terlihat lebih ceria. Vino tidak ingin menampakkan wajah murungnya pada Irawan.

Selesai mengatur napas, Vino membuka pintu rooftop. Saat pintu rooftop terbuka, angin pagi yang berembus menyambut Vino. Ia berjalan memasuki area rooftop dan melihat seseorang mengenakan hoodie memunggunginya. Vino tidak yakin, apakah orang itu Irawan atau tidak. Hoodie yang dikenakan memang milik Irawan, tetapi dari postur tubuh, itu bukan Irawan.

“Irawan?” panggil Vino.

Orang tersebut mengangkat sebuah kertas putih berukuran besar yang bertuliskan sebuah kata dalam bahasa Inggris disertai emoticon.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang