01. Sandrina Laily dan Sekolah Barunya

221 14 65
                                    

Hari Senin telah tiba. Tahun ajaran baru kini dimulai. Setelah liburan selama dua pekan, para murid kembali ke sekolah. Hari pertama masuk sekolah memang belum ada pelajaran yang dimulai. Namun, persiapan tetap harus ada, sebab naik satu tingkat, berarti beban juga naik satu tingkat.

Seorang murid perempuan dengan tanda nama Sandrina Laily turun dari bus kota bersama beberapa murid lain. Gadis itu tak langsung masuk ke area sekolah barunya, melainkan terdiam di depan pintu gerbang sambil melihat sekitar.

“Sial! Gue masih belum siap masuk sekolah,” bisiknya sembari memainkan kerikil di dekat sepatu.

Tak lama kemudian, terdengar suara klakson mobil yang mengejutkan Sandrina. Dengan cepat, murid perempuan itu membalikkan badan dan mendapati sebuah mobil berhenti tepat di belakangnya. Melihat Sandrina yang tak pindah posisi, sopir mobil tersebut kembali membunyikan klakson yang sekali lagi membuat beberapa orang yang ada di sekitar menatap Sandrina heran.

“Minggir!” teriak si sopir seraya menampakkan diri dari pintu mobil.

Tiba-tiba seorang murid laki-laki menarik lengan Sandrina agar tak menghalangi jalan. Setelah minggir beberapa langkah, mobil tadi bisa melaju memasuki area sekolah.

“Lo udah bosen hidup?” tanya pemuda dengan tanda nama Sony Albian, memandang Sandrina.

“Lepasin lengan gue!” balas Sandrina ketus.

Sony lekas melepaskan tautan tangannya dari lengan mulus Sandrina. Niatnya memang tak buruk, tetapi sepertinya gadis yang ditolong bukan seorang yang ramah.

“Sorry!” Sony melempar senyum.

Sandrina tak membalas senyuman Sony. Ia berjalan memasuki area sekolah, seolah tak merasa harus berterima kasih pada murid laki-laki yang tak dikenalnya itu. Sementara Sony hanya menggeleng sambil melihat punggung Sandrina yang semakin menjauh.

Ketika memasuki halaman sekolah, Sandrina disambut oleh bangunan sekolah yang besar dan luas dengan pemandangan yang indah dan asri. Tak heran jika SMA Mahardika menjadi salah satu sekolah terbaik dan favorit. Akan tetapi, mau sehebat apapun reputasi sekolah barunya, Sandrina tetap belum ikhlas pindah sekolah.

Kaki Sandrina terus melangkah memasuki salah satu gedung. Ia tak tahu, di mana letak kelasnya. Gadis itu juga tak memiliki keinginan untuk bertanya. Berhubung belum terlalu siang, jadi Sandrina ingin berkeliling sekolah dulu untuk melihat-lihat.

“Eh, hari ini ada upacara penyambutan murid kelas 10, 'kan?” tanya seorang murid perempuan pada temannya yang berjalan di belakang Sandrina.

“Iya. Tapi upacaranya khusus buat kelas 10 doang. Sementara kelas 11 sama 12 disuruh langsung masuk kelas buat sesi belajar mandiri sebelum pelajaran dimulai secara aktif,” jelas murid perempuan berambut pendek.

“Baru hari pertama udah ada sesi belajar mandiri? Ngawur banget! Yang bikin aturan baru siapa, sih? Rese banget!” keluh gadis satunya.

“Ya kepsek, lah! Kepsek kita 'kan sekarang mainnya sama kepsek SMA Pinus. Makanya, aturannya jadi kayak SMA Pinus. Dahlah! Kita mending ngikut aja daripada entar absensi kita di sesi belajar mandiri kosong.”

Dua gadis tadi mempercepat langkah dan menyalip Sandrina. Meski terlihat kurang peduli, tetapi Sandrina sejak tadi menguping pembicaraan dua murid yang lewat barusan. Seperti yang sudah diduga, aturan di sekolah barunya lebih rumit dari sekolahnya yang dulu.

“Gue udah bilang nggak mau sekolah di sini. Tetep aja dimasukin ke sini.” Sandrina kembali menggerutu.

Selang beberapa saat, terdengar suara bel tanda masuk kelas berbunyi. Sandrina bingung, harus pergi kemana. Ia tak tahu, apakah memasuki gedung yang benar atau tidak. Yang pasti, Sandrina harus segera mencari letak kelas 11 IPA 3.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang