Vino, Sony, dan Cindy memandang aneka makanan khas Italia di depannya. Air liur Cindy sudah hampir menetes tatkala melihat pasta terhidang di meja depannya yang tampak menggoda. Sementara Vino dan Sony sangat tergoda dengan pizza, risotto, dan lasagna yang berjejer rapi. Sungguh tiga remaja itu seperti sedang menahan godaan berat. Kapan lagi mereka bisa makan makanan khas Italia di restoran Italia sampai kenyang secara gratis, kalau bukan sekarang. Lambung gembel mereka meronta-ronta melihat makanan-makanan tersebut.
Cindy yang sudah cukup lapar lantas meraih garpu. Namun, Sony memegang tangan sang adik seraya menggeleng, seolah melarang Cindy melahap makanan gratis itu. Cindy yang hari ini mendadak patuh karena ada Vino di sampingnya, langsung mengurungkan niat. Ia kembali meletakkan garpu ke atas meja.
“Makan aja! Nggak perlu sungkan!” ujar Sherine yang duduk di seberang meja.
“Dia kayak gini ke kita pasti karena ada maunya,” bisik Sony di dekat telinga Vino. Vino membalasnya dengan mengangguk.
Sherine mengambil satu potong pizza dan memakannya dengan lahap dan penuh semangat. Ia sengaja melakukan hal itu agar tiga orang di hadapannya semakin tidak tahan.
“Delizioso,” kata Sherine sambil memejamkan mata, seolah hanyut ke dalam fantasi akibat kelezatan makanan tersebut.
Selang beberapa detik, Vino mengambil satu potong pizza dan memakannya. Sony yang tadi ingin menahan hanya bisa membulatkan mata melihat aksi Vino. Karena Vino sudah makan, Cindy jadi ikut makan. Cindy memakan pasta yang memang sejak awal sudah diincar. Di saat seperti ini, Sony hanya bisa ikut-ikutan saja. Dengan kesadaran penuh, ia mengambil dua potong pizza dan melahapnya.
“Satu potong pizza, satu pertanyaan!” Sherine berseru penuh semangat.
“Lo mau tanya apa emang?” balas Vino dengan mulut penuh makanan.
Sherine menggeser kursinya agak maju agar bisa berbicara lebih dekat dengan Vino dan Sony yang merupakan teman dekat Irawan.
“Kasih tahu ke gue semua hal tentang Irawan! Mulai dari tipe idealnya, makanan favorit, minuman favorit, kebiasaan dia, hobi dia, idol favorit dia, lagu favorit dia, bahkan ukuran sepatunya. Pokoknya semuanya!” pinta Sherine seraya memangku dagu di atas kedua telapak tangan sambil mengedipkan mata kucingnya.
“Ukuran celana dalemnya juga?” sahut Cindy yang seketika mulutnya langsung dibungkam Sony dengan sepotong pizza.
Vino dan Sony menghentikan kegiatan makannya. Kemudian, saling memandang, seolah saling bertanya.
“Entar gue tambah, deh. Kalian pengen makan di mana besok? Gue traktir lagi.” Sherine menambahkan.
“Lo nyogok kita?” Vino mengernyitkan dahi.
Sherine tertawa. Lalu, menggebrak meja yang sontak membuat beberapa pengunjung restoran lain terkejut dan mengalihkan pandangan padanya.
“Anggep aja ini kayak barter! Gue dapet informasi seputar Irawan, sedangkan kalian bisa makan gratis,” tukas Sherine.
Sony mendekatkan bibir ke telinga Vino. “Ini namanya jual temen, nggak, sih?”
“Kita nggak jual Irawan. Kita cuma barter-an makanan gratis sama informasinya Irawan. Lagian, kita bisa bohong, 'kan?” balas Vino berbisik.
Sony mengangguk paham. Ternyata pemikiran Vino cukup licik. Boleh juga Sony belajar sedikit kelicikan Vino yang dari luar tampak baik dan tenang.
“Apa makanan dan minuman favorit Irawan?” tanya Sherine, mulai mengajukan pertanyaan dengan sebuah buku catatan kecil di tangan.
“Nasi padang sama es teh,” jawab Vino.
“Nasi goreng sama es jeruk.” Sony juga ikut menjawab.
Dua pemuda itu menjawab bersamaan dengan jawaban yang berbeda. Cindy yang berada di tengah keduanya hanya bisa menggeleng. Jelas sekali kalau Vino maupun Sony berbohong. Sherine dibuat heran mendengar jawaban dua pemuda di hadapannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Stop [END]
Novela JuvenilSandrina Laily dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis. Ia pindah sekolah dan tempat tinggal karena perceraian kedua orang tuanya. Di sekolah barunya, Sandrina mengenal Irawan Pradana Dewangga, seorang murid laki-laki yang suka...