41. Calon Pemimpin Dewangga Group Siap Beraksi

30 8 97
                                    

Irawan dan Yeslyn berlari menyusuri koridor lantai lima gedung rumah sakit khusus ruang rawat VVIP dan VIP. Keduanya tampak cemas dan panik setelah dijemput oleh para pengawal sang nenek. Para pengawal tersebut memberitahu mereka, bahwa Nyonya Riana pingsan saat menghadiri rapat dengan salah satu rekan bisnis dan kini dirawat di rumah sakit.

Sesampainya di depan salah satu ruang rawat VVIP, Irawan dan Yeslyn disambut oleh Bu Devi, asisten pribadi Nyonya Riana. Wanita berusia akhir tiga puluhan itu membungkuk hormat pada si kembar keluarga Dewangga.

“Gimana keadaan Oma?” tanya Yeslyn dan Irawan bersamaan yang terdengar kompak.

“Kata dokter, Nyonya Besar kelelahan dan kurang tidur. Maaf, karena sudah membuat Tuan Muda dan Nona Yeslyn panik! Saya pikir, salah satu anggota keluarga harus ada di sini. Khawatir saat Nyonya Besar nanti sadar, dia akan merasa kesepian dan sedih kalau tidak ada yang menemani,” jawab Bu Devi, menjelaskan tujuannya memanggil Yeslyn dan Irawan.

Yeslyn dan Irawan mengangguk paham. Lalu, keduanya memasuki ruang rawat sang nenek bersama. Terlihat Nyonya Riana terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus yang melekat pada tangan kiri. Yeslyn lantas duduk di kursi dekat tempat Nyonya Riana terbaring. Sementara Irawan berdiri di belakang Yeslyn, memandang sang nenek dengan rasa khawatir yang masih melanda.

Walau Irawan kerap membangkang perintah sang nenek, tetapi melihat wanita itu terbaring lemah membuatnya sedih dan khawatir. Sejak menjadi bagian dari keluarga Dewangga, satu-satunya orang yang selalu berdiri di samping Irawan hanya Nyonya Riana. Wanita itu bahkan tak akan segan memberi hukuman pada siapapun yang berani menyakiti Irawan, sekalipun orang itu adalah anak dan cucunya. Ketika Irawan sakit, Nyonya Riana adalah orang yang paling khawatir dan cemas. Ia bahkan sampai rela menunda pekerjaannya demi merawat Irawan.

“Tuan Muda, Nona Yeslyn, dokter ingin bertemu dengan salah satu dari kalian,” ucap Bu Devi ketika memasuki ruang rawat.

Yeslyn langsung beranjak berdiri. “Gue aja!”

Karena Yeslyn sudah mengajukan diri, jadi Irawan setuju saja. Yeslyn melangkah keluar dari ruang rawat dengan ditemani Bu Devi menuju ruang dokter. Kini, Irawan duduk di kursi yang ditempati Yeslyn tadi. Ia meraih tangan dingin neneknya dan menggenggamnya erat.

“Oma belum mati, tapi kenapa ekspresi kamu sesedih itu?” Suara parau Nyonya Riana mengagetkan Irawan. Wanita itu perlahan membuka mata dan memandang sang cucu lekat.

“Oma udah sadar?” tanya Irawan sembari beranjak berdiri.

Ia berniat menelepon dokter atau perawat agar segera datang ke ruang rawat untuk memeriksa sang nenek. Namun, Nyonya Riana melarang. Wanita itu merasa sudah baik-baik saja, jadi tidak perlu diperiksa lagi.

“Kamu duduk aja di sini! Temenin Oma!” perintah Nyonya Riana.

Irawan menurut dan kembali duduk. Kini, giliran Nyonya Riana yang menggenggam tangan Irawan. Anak nakal yang sulit diatur itu ternyata mengkhawatirkannya. Hal itu membuat Nyonya Riana sedikit terharu.

“Tangan kamu terasa hangat. Kata orang, kalo tangannya hangat, hatinya juga hangat,” ujar Nyonya Riana, memulai obrolan ringan.

Irawan tersenyum. Itu terdengar seperti pujian, tetapi rasanya aneh karena berasal dari mulut neneknya yang jarang sekali memberikan pujian untuk orang lain.

“Tolong ambilin HP Oma!” titah Nyonya Riana setelah ingat, bahwa pekerjaannya belum selesai.

Irawan lantas meraih tas bermerek Nyonya Riana yang bertengger di atas meja. Ia membukanya dan mengambil ponsel sang nenek. Lalu, memberikannya. Nyonya Riana menerima ponselnya dan mulai memeriksa beberapa pesan.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang