25. Munculnya Sosok yang Dirindukan Irawan

37 5 22
                                    

Tuan Gilang menyeret Rio keluar dari mobil. Singkat cerita, setelah mengantar Sandrina dan Sony, Tuan Gilang langsung pergi ke kelab malam tempat ia melihat Rio. Ternyata benar, pemuda yang dilihatnya memang sang putra sulung. Sebagai seorang ayah, ia sangat kecewa mengetahui kebenaran tersebut. Sosok anak yang selama ini ia elu-elukan karena kegeniusannya, ternyata berbuat hal yang tak terduga. Ketika ia dan sang istri sedang cemas dan khawatir akan keadaan Vino, Rio seolah menghilang dan menambah kekhawatiran. Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, Rio justru sibuk bermain di kelab malam.

“Sejak kapan kamu suka pergi ke kelab malam?” tanya Tuan Gilang yang sudah tak bisa membendung amarah.

Rio tertawa. Pemuda itu memang minum beberapa teguk anggur saat di kelab, akan tetapi kesadarannya masih seratus persen. Sosok Mario Agrata memang cukup kuat minum.

“Pa, Papa jangan kuno! Zaman sekarang, anak muda mana yang nggak pergi ke kelab malam?” balas Rio enteng.

Tuan Gilang menghela napas. Kuliah di luar negeri seolah membuat Rio mengikuti kebiasaan anak muda di sana. Ia jadi menyesal telah mengirim anaknya kuliah ke luar negeri.

“Rio, sekarang Papa tanya baik-baik sama kamu. Apa tadi kamu jemput Vino di tempat bimbel? Atau jangan-jangan, kamu nggak jemput Vino tapi malah pergi ke kelab?” Tuan Gilang seperti menebak meski apa yang keluar dari mulutnya adalah sebuah pertanyaan.

“Kenapa? Apa Vino ngadu ke Papa kalo aku nggak jemput dia?” Rio malah seperti menantang.

Tuan Gilang sangat ingin membentak Rio, tetapi masih menahan diri. Ia harus tahu, sebenarnya Rio sengaja tidak menjemput Vino atau memang Rio sudah menjemput tetapi Vino yang tidak ada di tempat.

“Pa, Vino udah gede! Dia bisa naik taksi atau ojol buat pulang. Emangnya aku sopir pribadinya yang harus selalu siap jemput dia?” Rio masih menjawab dengan nada santai.

“Jadi, kamu nggak tahu apa yang terjadi sama Vino? Kamu beneran nggak tahu?” Tuan Gilang mendekat pada Rio.

“Nggak tahu. Emangnya kenapa?” balas Rio, malah balik bertanya.

Tuan Gilang mencengkram erat pundak Rio. “Vino ditikam orang dan sekarang lagi dioperasi di rumah sakit.”

Rio tampak kaget. Namun, ekspresi kagetnya hanya bertahan beberapa detik. Kemudian, ia kembali memasang ekspresi datar. “Ya udah. Trus, emangnya itu salah aku? Mungkin aja Vino bikin marah orang itu, makanya dia sampe ditikam.”

“Rio!” bentak Tuan Gilang seraya mengayunkan tangan ke wajah Rio. Sayangnya, ayunan tangannya terhenti karena ia tak ingin menyakiti Rio dan semakin memperumit keadaan.

“Kenapa berhenti? Kenapa nggak jadi nampar aku?” Rio menantang.

“Selama ini, Papa sama mama cuma mikirin Vino! Yang kalian peduliin cuma Vino! Anak kalian seolah Vino doang!” teriak Rio.

“Dulu, kalian sampe nitipin aku ke rumah kakek sama nenek demi konsentrasi ngurus Vino yang sakit-sakitan. Aku berasa kayak anak yatim piatu gara-gara Vino!” lanjut Rio, meluapkan kekesalan yang selama ini mengganjal di hati.

Tuan Gilang semakin geram. Ucapan Rio seperti mencari alasan untuk membenarkan sikapnya. Tangan pria itu mengepal, menahan amarah. Entah harus bagaimana ia menghadapi sikap Rio. Dikasar salah, dilembut juga tak benar.

“Rio, Papa nggak mau ribut atau debat sama kamu! Jadi, tolong kamu jangan mancing keributan! Sekarang lebih baik kamu masuk dan bersihkan diri! Papa mau balik ke rumah sakit.” Tuan Gilang memilih untuk tak memperpanjang masalah.

Pria itu melangkah memasuki mobil dan mulai melajukan kendaraan roda empat tersebut. Sedangkan Rio yang masih pada posisinya hanya menatap kepergian sang ayah dengan perasaan kacau. Ya, kacau karena lagi-lagi orang tuanya lebih peduli dan memerhatikan Vino daripada dia. Hal itu membuat Rio semakin kesal dan benci pada Vino.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang