53. Memendamnya Sampai Akhir

21 5 34
                                    

Seorang gadis berusia 19 tahun keluar dari kamar khusus asisten rumah tangga dengan menenteng tas. Di belakangnya, ada dua pria berjas hitam rapi yang mengikuti. Gadis yang bernama lengkap Betari Ayuni itu berjalan pelan menuju ruang utama kediaman keluarga Dewangga yang merupakan tempatnya bekerja. Sesampainya di sana, sudah ada seorang pria paruh baya menunggu. Sementara di lantai dua, tampak seorang wanita menatap tajam Tari. Tari tidak berani menatap balik wanita tersebut, sebab wanita itu adalah Nyonya Besar Dewangga.

Sosok wanita muda turun dari lantai dua setelah menerima amplop dari Nyonya Besar Dewangga. Wanita itu menghampiri Tari dan memberikan amplop tadi padanya.

“Ini pesangon dan bonus dari Nyonya Besar,” katanya.

Tari menerima dengan tangan gemetar. Pelan-pelan, ia mendongakkan kepala dan melihat ke arah sang majikan berada. Amplop tersebut terasa lebih tebal dari gajinya bekerja selama enam bulan. Hal itu membuat Tari semakin takut dan khawatir.

“Pak Karjo, silakan pergi ke alamat yang sudah dikirim lewat SMS! Itu perintah dari Tuan Besar,” jelas wanita tadi pada pria yang sering disapa Pak Karjo.

Pak Karjo mengangguk paham. Meski sebenarnya ia tidak tega, tetapi apa yang dilakukannya saat ini hanya mengikuti perintah dari sang majikan. Jujur saja, Pak Karjo kasihan pada Tari yang merupakan korban dari kebiadaban anak majikannya.

“Tari, ayo!” ajak Pak Karjo seraya meraih lengan Tari.

Tari melangkahkan kaki dengan berat menuju pintu keluar kediaman keluarga Dewangga. Ada begitu banyak ketakutan di benaknya. Yang paling ia khawatirkan adalah keselamatan janin di dalam kandungannya. Walau janin itu adalah bukti dari kebejatan putra Dewangga dan keberadaannya tidak diinginkan, tetapi Tari ingin mempertahankannya.

“Pak Karjo, kita mau kemana?” tanya Tari selepas keluar dari rumah besar keluarga Dewangga.

Pak Karjo terdiam. Ia tidak bisa memberitahukan yang sebenarnya. Jika tahu, mungkin nanti Tari akan semakin ketakutan, bahkan melarikan diri.

“Kemana lagi? Ke terminal buat nganterin kamu,” jawab Pak Karjo yang kini membukakan pintu mobil untuk Tari.

Tari masuk ke mobil dengan pikiran tak tenang. Dia masih berada di wilayah kediaman keluarga Dewangga. Tidak mungkin bisa menolak perintah. Setelah Pak Karjo duduk di samping Tari, mobil melaju dengan kecepatan normal. Tari memegang bagian perutnya. Memang belum terlalu tampak membuncit, sebab usia kandungannya masih empat bulanan. Namun, Tari tetap menantikan anak itu lahir. Tidak peduli jika lahir tanpa seorang ayah.

“Kamu yakin, mau pulang dalam keadaan kayak gini? Gimana kamu jelasin ke keluarga kamu nanti?” tanya Pak Karjo.

Tari menunduk. Sampai saat ini, ia tidak tahu, apakah akan pulang atau pergi ke mana. Orang tuanya pasti akan marah besar, jika tahu ia dihamili oleh anak majikannya yang sudah beristri. Para tetangga juga akan menggunjingnya.

“Kayaknya aku nggak bisa pulang, Pak. Aku mau cari tempat kost di luar kota sampe anak ini lahir,” balas Tari.

Pak Karjo mengangguk paham. Entah harus disebut bencana atau anugerah, kehadiran anak itu. Keluarga Dewangga bahkan tidak mengharapkan kelahirannya dan menyuruh Pak Karjo membawa Tari ke sebuah klinik untuk menggugurkannya.

Beberapa saat setelah melihat jalanan yang agak asing, Tari dibuat bingung. Ia yakin, jalan yang dilalui saat ini bukan jalan menuju terminal. Gadis itu semakin takut dan bingung harus bagaimana. Ia mencoba membuka pintu mobil, berniat melompat, tetapi pintu mobil telah dikunci.

Menyadari hal itu, Pak Karjo hanya diam dan pura-pura tidak melihat kepanikan Tari. Biarlah Tari panik dan khawatir. Pak Karjo hanya menjalankan perintah.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang