62. Pelukan Hangat untuk Sandrina

26 6 21
                                    

Malam yang sunyi. Irawan masih duduk di meja belajarnya, padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Pemuda itu tidak sedang bergadang untuk belajar, tetapi hanya iseng bermain ponsel karena tidak bisa tidur. Wajah tampannya disinari oleh cahaya yang berasal dari layar benda pipih di tangannya. Lampu utama di kamar yang luas itu sudah dimatikan. Hanya tersisa cahaya dari layar ponselnya.

“Kirim, enggak! Kirim, enggak! Kirim, enggak!”

Irawan berbisik ragu. Ia sedang dilema, antara harus mengirim video pada Sandrina atau tidak. Pemuda itu ingin mengirim video pendek saja, yang sudah ia potong dibagian ia menyatakan perasaan. Namun, video yang paling indah adalah video saat ia berteriak mengungkapkan perasaan pada Sandrina. Di video itu, Aurora terlihat sangat indah dan cukup jelas.

“Kirim aja, deh! Palingan Sandrina nganggep santai soal gue bilang kalo gue suka sama dia. Lagian, dia 'kan nggak peka,” kata Irawan yang pada akhirnya yakin untuk mengirim video versi durasi panjang.

Sebagai laki-laki, Irawan merasa harus menepati janji. Apalagi hari ini adalah hari ulang tahun Sandrina. Irawan memang sudah menyiapkan kado lain untuk Sandrina. Namun, tentang video Aurora itu adalah janjinya.

Setelah mengirim file video pada Sandrina lewat email, Irawan tampak lebih lega. Namun, ada sedikit rasa takut yang mendadak hadir di benaknya. Ia khawatir pernyataan cinta dalam video itu akan membuat Sandrina menjauh karena merasa canggung.

“Apa gue batalin aja?” Irawan bergumam.

Baru saja pemuda itu mengusap layar ponsel untuk membuka kunci layar, tiba-tiba Sandrina menelepon. Ini seperti sebuah kebetulan. Irawan jadi berpikir, apakah Sandrina meneleponnya karena ingin menanyakan tentang pernyataan cintanya di video itu? Ah, hal itu membuat Irawan deg-degan. Ia pun menjawab panggilan telepon Sandrina.

“Halo!”

Tidak ada jawaban dari Sandrina. Irawan hanya mendengar suara angin dan keributan dari seberang telepon. Tentu itu membuat Irawan bingung dan penasaran.

“San, ini lo, 'kan? Lo kenapa, San?” tanya Irawan mulai panik.

Selang beberapa saat, terdengar suara isakan pelan seseorang. Irawan jadi semakin panik dan bingung.

“San, lo kenapa? Jawab gue, San!” Lagi, Irawan kembali bertanya.

“Ir ....”

Balasan dari Sandrina yang terdengar lemah dan tidak berdaya membuat Irawan semakin panik dan bingung. Ini sudah tengah malam, membuatnya over thinking saja.

“San, lo kenapa? Lo di mana sekarang?”

Sandrina tidak menjawab dengan kata-kata. Hanya isakan pelan yang terdengar. Irawan yang bingung dan panik langsung beranjak berdiri. Ia meraih jaket tebalnya dan kunci motor yang bertengger di atas meja.

“Lo shareloc, biar gue ke sana sekarang!”

Irawan berlari keluar kamar dengan terburu-buru. Sudah hampir tengah malam, jadi suasana rumah besar keluarga Dewangga sudah sepi dan remang-remang, sebab lampu utama sudah mati secara automatis. Irawan pikir, tidak akan ada yang peduli atau melihatnya jika keluar secara diam-diam, selain petugas keamanan yang menjaga pintu gerbang. Namun, sepertinya perkiraan pemuda itu salah besar. Ya, sang nenek yang belum tidur karena harus mengurus beberapa berkas untuk proyek baru, melihat Irawan keluar lewat CCTV yang terhubung di ruang kerjanya.

“Anak itu mau ke mana malam-malam begini?” bisik Nyonya Riana penasaran. Kemudian, ia menelepon seseorang dan memintanya untuk mengikuti Irawan.

Sesampainya di garasi, Irawan memeriksa ponsel untuk melihat lokasi yang Sandrina kirim. Lalu, ia mengetik chat untuk Sandrina.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang