24. Irawan, Vino, Andi, dan Balas Dendam Mereka

39 5 42
                                    

Suara deringan ponsel yang tergeletak di atas rerumputan liar dengan layar sedikit retak membelah suasana malam di salah satu gedung tua bekas pabrik. Tak hanya benda pipih berharga jutaan tadi yang menghiasi alas tempat itu, tetapi beberapa buku tebal yang berisi materi pelajaran kelas 11 juga berserakan di sana. Seorang pemuda yang memiliki bekas luka di pelipis kanan duduk santai di atas tumpukan kayu tua dengan kaki menginjak telapak tangan kanan penuh darah seorang laki-laki berusia 17 tahun.

“HP lo berisik banget! Apa itu Irawan? Jangan-jangan Irawan udah tahu, kalo yang bales chat bukan lo,” ucap lelaki yang akrab disapa Andi.

Sosok yang berlumuran darah segar mendongakkan kepala dengan napas yang terengah-engah setelah dipukuli. Matanya menatap tajam Andi, seolah menyimpan dendam.

“Kenapa? Lo mau ngomong apa? Ayo ngomong aja! Kita nostalgia dulu sebelum lo ketemu sama Dikta di akhirat.” Andi berpindah posisi. Ia berjongkok tepat di depan sang lawan bicara.

Bibir pemuda yang tak lain adalah Vino, tampak gemetar. Ada rasa ingin melawan, tetapi pada akhirnya akan sia-sia. Tenaga dan skill berkelahi Andi jauh lebih baik darinya.

“Jangan libatin Irawan atau siapapun!” kata Vino dengan suara pelan, menahan rasa sakit di sekujur tubuh.

Andi tersenyum miring. Ditarikmya kerah baju Vino dan membuat wajah Vino menghadap wajahnya dengan jarak dekat. Mata keduanya saling bertemu tatap.

“Selama ada di penjara, gue selalu ngebayangin hari ini. Hari dimana gue bisa ngebales perbuatan lo. Padahal malam itu, lo ada di tempat kejadian. Tapi ketika kasus kematian Dikta diselidiki, nama lo nggak disebut sama sekali, seolah-olah lo nggak ada di sana. Hebat banget lo! Irawan bisa sampe sejauh itu ngelindungin lo, padahal lo adalah penyebab utama Dikta meninggal. Lo tahu 'kan, kalo Dikta meninggal karena kehabisan darah?! Itu gara-gara lo, yang kabur dan nggak balik lagi buat nolongin Dikta sama Irawan!” ungkap Andi yang sangat kesal setiap mengingat penderitaannya di dalam penjara, sementara Vino hidup nyaman seolah tak terjadi apa-apa.

Vino terkekeh. Ini terdengar lucu dan menggelikan. Bisa-bisanya Andi menyalahkannya atas apa yang terjadi, padahal hari itu Andi dengan menggunakan tangannya sendiri menikam Dikta dari belakang.

“Lo ketawa, hah?” Andi mendorong tubuh Vino hingga menabrak dinding berdebu.

Vino bergerak perlahan, membenarkan posisi. Meski ia selalu merasa bersalah atas kematian Dikta, tetapi saat melihat Andi membuat rasa bersalahnya berubah menjadi rasa benci dan dendam.

“Lo selalu nge-bully dan mukulin gue dari SMP, apa lo nggak bosen? Apa keberanian lo cuma sebatas ke gue, karena gue lemah dan nggak akan berani ngelawan?” Vino kini memberanikan diri untuk menantang Andi dengan kata-kata yang memprovokasi.

“Gue tahu, dulu lo takut sama Dikta dan Irawan. Makanya, ketika mereka nolongin gue dan mulai temenan sama gue, lo jadi makin kesel dan benci sama gue,” tambah Vino.

Andi kembali mendekat pada Vino. Kali ini, ia mencengkram leher Vino hingga membuat laki-laki itu kesulitan bernapas. “Lo sekarang pinter ngomong, ya? Udah ngerasa bebas, ya, karena gue masuk penjara, hah? Lo liat aja! Habis lo, giliran Irawan yang bakal gue singkirin setelah gue dapetin uang—”

Belum sempat menyelesaikan ucapan, tiba-tiba seseorang datang dan menendang punggung Andi hingga terpental. Orang itu dengan cepat meraih kerah baju Andi dan meninju wajah Andi beberapa kali. Vino melihat sosok tersebut sembari memegang lehernya yang masih sakit akibat ulah Andi tadi.

“Irawan?” bisiknya.

Andi berusaha membalas dengan menendang perut Irawan. Saat Irawan terjatuh akibat tendangannya, Andi memukul wajah Irawan hingga beberapa kali. Perkelahian dua orang yang memang pandai berkelahi itu bisa dikatakan seimbang. Mereka sama babak belur dan saling mendapat jatah memukul. Sampai beberapa saat, Andi maupun Irawan berusaha saling mengalahkan. Hingga akhirnya, Irawan berhasil memberikan pukulan telak dengan menendang wajah Andi dan membuat Andi tersungkur ke tanah.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang