Irawan dan Sherine berdiri di balik tirai altar. Keduanya bersiap untuk melangsungkan acara pertunangan dengan bertukar cincin pasangan di depan semua tamu undangan. Mereka mengenakan pakaian yang berwarna senada, membuatnya tampak serasi. Memang dari segi visual, sosok Irawan dan Sherine sudah tidak diragukan lagi. Itu sebabnya, mereka kerap mendapat pujian dari beberapa orang sebagai pasangan yang sangat serasi.
Sherine memperhatikan Irawan yang sejak tadi melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Gadis itu meraih dan menggenggam tangan Irawan tiba-tiba.
“Kenapa? Lagi meriksa waktu buat mastiin orang suruhan lo berhasil bikin masalah?” bisik Sherine di dekat telinga Irawan.
Irawan langsung menatap Sherine kaget. Sherine seolah memiliki kemampuan bisa membaca pikirannya. Gadis itu tersenyum miring. Kemudian, mengeluarkan ponsel dan menunjukkan layar ponselnya pada Irawan.
“Orang suruhan lo udah ditangkep sama orang-orang suruhan opa gue. Lo kira bisa semudah itu ngebatalin pertunangan kita? Inget, Ir! Ini tentang bisnis dua keluarga. Mana mungkin bisa batal gitu aja,” tutur Sherine yang merasa menang, sebab berhasil mengendus rencana Irawan.
“Lo ... kenapa lo bisa sampe sepengen itu milikin gue? Apa lo juga anggep gue sebagai sarana buat memperlancar bisnis keluarga?” tanya Irawan, menatap Sherine lekat.
Sherine tersenyum simpul. Lalu, mendekatkan wajahnya pada wajah Irawan. Disentuhnya kening Irawan yang mulus. “Karena lo cinta pertama gue. Lo adalah laki-laki pertama yang bikin jantung gue berdegup kencang. Gue cuma butuh tiga detik buat jatuh cinta sama lo.”
Irawan berdecih. Di saat seperti ini, Sherine masih sempat berbicara tentang cinta. Padahal sudah jelas, bahwa pertunangan mereka didasarkan pada bisnis keluarga.
“Apa lo masih inget pertemuan pertama kita?” Kini giliran Sherine yang melempar pertanyaan pada Irawan.
“Di pasar tradisional, 'kan? Waktu itu lo asal narik tangan gue.”
Mendengar jawaban Irawan, Sherine tersenyum getir. Ternyata benar, Irawan tidak ingat dan tidak tahu. Sungguh Sherine seperti dipukul oleh jawaban itu, sebab hanya Sherine yang menganggap pertemuan pertama mereka bak takdir indah dari Tuhan untuk kisah mereka.
“Lo salah! Pertemuan pertama kita bukan di pasar tradisional, tapi di Abisko akhir tahun lalu. Di seberang jalan stasiun Abisko, tepatnya di depan tempat penginapan. Waktu itu gue jatuh dan lo tiba-tiba dateng ngulurin tangan buat gue. Lo berdiri di depan gue dan ngelindungin gue dari cahaya matahari yang terik. Sejak saat itu, gue nggak bisa lupain lo. Gue selalu berharap, suatu hari Tuhan bakal mempertemukan kita lagi. Dan lo liat sekarang! Kita bahkan dijodohin sama keluarga kita. Bukankah ini sebuah takdir? Bukankah semesta mendukung kita?” ungkap Sherine seraya menggenggam tangan Irawan. Mata gadis itu berkaca-kaca setiap kali mengingat momen pertemuan pertamanya dengan Irawan.
Irawan melepaskan genggaman tangan Sherine perlahan. Cerita Sherine memang terdengar romantis dan manis, tetapi itu bukan intinya. Mungkin bagi Sherine, Irawan adalah cinta pertamanya. Namun, bagaimana dengan Irawan? Irawan tentu masih memiliki hak atas hidupnya.
“Kata orang, pertemuan pertama adalah kebetulan. Pertemuan kedua adalah kebetulan. Lalu, pertemuan ketiga adalah takdir. Kita udah ngalamin pertemuan sampe ketiga. Bukankah itu berarti, kita memang ditakdirkan bersama?” Sherine menatap Irawan penuh harap.
“Jangan berharap sama gue! Sorry!” balas Irawan.
Sherine mengepalkan tangan. Ia benci memohon pada orang lain. Namun, kali ini gadis itu seolah rela menurunkan gengsi hanya demi mendapatkan sang pujaan hati yang telah memberikan hatinya pada orang lain. Terdengar sangat tidak adil bagi Sherine.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Stop [END]
Genç KurguSandrina Laily dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis. Ia pindah sekolah dan tempat tinggal karena perceraian kedua orang tuanya. Di sekolah barunya, Sandrina mengenal Irawan Pradana Dewangga, seorang murid laki-laki yang suka...