60. Sandrina dan Egonya

33 6 34
                                    

Sandrina melihat kalender di ruang tamu dengan antusias setelah keluar dari kamar. Besok adalah hari ulang tahunnya. Ia begitu bersemangat menanti hari jadinya yang ketujuh belas. Alasan Sandrina bisa seantusias itu adalah, karena ia ingin bertemu sang ayah sebagai kado ulang tahunnya. Ya, meski sampai detik ini ibunya belum memberikan jawaban yang pasti. Sandrina berencana tetap pergi meski sang ibu tidak mau mengantarnya.

“Sandrina, ayo sarapan! Nanti kamu bisa telat,” panggil Bu Lani dari ruang makan sambil menata makanan.

“Iya.” Sandrina menjawab sembari berjalan menuju ruang makan.

Sesampainya di ruang makan, sudah ada Farrel, Bu Lani, dan Nenek Asih yang bersiap untuk mengisi perut. Sandrina duduk di samping sang nenek, sebab wanita tua itu sudah mengambilkan nasi untuknya.

“Kak Sandrina, kata Bu Dhe Lani, besok kita bakal ngerayain ultah Kak Sandrina di rumah makan seafood. Aku udah nggak sabar pengen makan banyak udang asam manis yang enak,” ujar Farrel yang terlihat senang.

Mendengar ucapan Farrel, Sandrina kini menatap sang ibu yang sedang makan. Ia menggeser kursinya lebih dekat dengan tempat duduk wanita itu.

“Ma, besok aku mau ngunjungin papa. Kalo Mama nggak mau nganterin, aku bakal pergi sendiri. Entah naik bus atau kereta,” ucap Sandrina di dekat Bu Lani.

Seketika Bu Lani menghentikan kegiatan makannya. Ia menatap tajam Sandrina. Sebenarnya Bu Lani ingin langsung berteriak pada Sandrina, tetapi ada Farrel di sana. Ia tidak bisa bersikap kasar di depan Farrel yang masih kecil.

“Tolong jangan ngerusak suasana sarapan yang udah damai dan tenang!” balas Bu Lani.

“Ma, udah setengah tahun lebih aku nggak ketemu papa. Biar gimanapun, aku tetep anaknya papa. Mama nggak bisa mutusin hubungan aku sama papa!” Sandrina mulai meninggikan suara.

Jika membahas tentang larangan sang ibu untuk bertemu ayahnya, Sandrina seperti tidak bisa menahan amarah. Ia tidak terima, mengapa ia dilarang bertemu ayah kandungnya. Tidak peduli jika ayahnya seorang narapidana. Bagi Sandrina, status sang ayah tidak akan berubah di matanya.

Bu Lani membanting sendok yang automatis membuat Farrel dan Nenek Asih terkejut. Jelas akan ada keributan, Nenek Asih memutuskan untuk mengajak Farrel pergi ke luar dengan membawa sarapan yang masih tersisa di piring.

Selepas Farrel dan Nenek Asih keluar, Bu Lani berdiri. Ditatapnya tajam Sandrina. “Sandrina, kamu dengerin Mama! Mama ngelakuin ini demi kebaikan kamu. Jadi, kamu harus nurut sama Mama!”

“Aku mungkin bisa nurut dalam hal lain, tapi kalo satu ini enggak! Pokoknya besok aku mau ketemu sama papa! Kalo Mama nggak mau nemenin atau nganterin, aku bakal berangkat sendiri.” Sandrina masih keras kepala.

Gadis itu meraih tasnya dan berjalan meninggalkan ruang makan. Bu Lani memandang punggung sang putri seraya menghela napas, mencoba untuk menahan diri. Sifat keras kepala Sandrina sungguh tiada tandingan. Semakin dipaksa, Sandrina akan semakin memberontak dan nekat.

“Sandrina, Mama anterin kamu ke sekolah!” teriak Bu Lani yang kini berlari untuk mengejar Sandrina.

“Nggak perlu!” balas Sandrina ketus dan semakin mempercepat langkah agar lekas keluar dari kediamannya.

Bu Lani tidak mau kalah. Secepatnya ia meraih lengan Sandrina untuk menghentikannya. “Sandrina, kamu jangan kayak gini!”

Sandrina menyingkirkan tautan tangan ibunya. Kemudian, kembali berjalan. Seperti biasa, setiap bertengkar dengan sang ibu di pagi hari, Sandrina akan langung berangkat ke sekolah tanpa sarapan, bahkan tanpa membawa uang saku. Ia seperti tidak peduli apapun, selain keegoisannya.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang