79. Balas Dendam

29 5 56
                                    

Perlahan, Irawan membuka mata. Samar-samar ia melihat seorang pria dan wanita tengah mengobrol tak jauh darinya. Irawan tidak bisa mendengar jelas obrolan mereka, sebab nyawa pemuda itu belum terkumpul sepenuhnya. Kepalanya masih terasa pusing, sakit, dan perih. Irawan berusaha menggerakkan tangan, tetapi sangat sulit. Hingga beberapa detik setelah kesadarannya terkumpul sepenuhnya, laki-laki itu baru sadar, bahwa saat ini tangan dan kakinya diikat kuat dengan tali. Ia menoleh kanan dan kiri yang hanya menampakkan lantai berdebu dengan dinding kusam.

Dua orang beda gender yang tengah mengobrol tadi menyadari Irawan sudah sadar dan segera menghampiri. Keduanya tersenyum miring, memandang Irawan yang saat ini tidak bisa melakukan apa-apa. Setelah itu, si pria pergi memasuki salah satu ruangan di bangunan tersebut, meninggalkan si wanita dan Irawan.

“Tuan Muda sudah sadar. Ternyata Tuan Muda Dewangga kuat juga,” kata wanita tersebut, yang tak lain adalah Bu Devi. Sosok yang biasa berpakaian rapi tatkala bekerja itu, penampilannya sedikit berbeda hari ini.

“Kenapa Bu Devi ngelakuin ini?” tanya Irawan dengan suara parau dan lemah.

“Kenapa? Kayaknya kamu penasaran banget sama rencanaku,” balas Bu Devi sembari berjongkok di depan Irawan.

Bu Devi mengusap dahi Irawan yang kotor oleh darah kering. Bibir tipis wanita itu tersenyum. Setelah seperempat abad menahan dendam dan luka, akhirnya ia bisa merealisasikan dendamnya pada keluarga Dewangga yang telah merenggut nyawa kakak perempuan dan menghancurkan keluarganya. Saat ini, dua keturunan laki-laki Dewangga yang sangat berharga ada di tangannya. Automatis ia bisa melakukan apapun pada mereka untuk memuaskan hasrat dendam dan amarahnya yang terpendam selama 25 tahun.

“Apa kamu pernah dengar peribahasa gigi dibayar gigi dan nyawa dibayar nyawa?” Bu Devi menatap Irawan lekat.

Bibir Irawan bergetar. Seluruh tubuh, terutama kepalanya terasa masih sakit. Ia tidak tahu, apa sebenarnya rencana Bu Devi. Sejauh ini, Irawan pikir Bu Devi mendekati ayahnya karena memang terpikat oleh ayahnya. Namun, sepertinya wanita itu memiliki rencana lain.

Bu Devi tertawa melihat ekspresi Irawan. Terlihat jelas, bahwa pemuda itu sedang berpikir keras untuk menebak tujuan dan rencana Bu Devi.

“Satu hal yang harus kamu tahu sebelum kamu mati. Tujuanku membawa kamu dan Edo Dewangga ke rumahku yang penuh debu ini, adalah untuk mengenang masa lalu. Mengenang apa yang terjadi 25 tahun lalu,” ungkap Bu Devi.

Bu Devi beranjak berdiri. Ia mengambil sebuah pigura yang berisi foto lama keluarganya dan menunjukkannya pada Irawan.

“Ini adalah keluargaku sebelum kakakku mengenal Edo Dewangga. Dulu, kami hidup dengan bahagia dan penuh cinta. Sampai suatu hari, Edo Dewangga datang ke kehidupan kami. Lalu, membunuh kakakku yang sudah dihamilinya. Ah, sebenarnya bukan hanya Edo Dewangga, tetapi Riana Dewangga juga terlibat. Sementara Aditya Dewangga adalah orang yang berusaha menutupi keburukan putra dan istrinya. Sungguh keluarga yang mengagumkan.” Bu Devi menjelaskan.

Mendengar apa yang Bu Devi katakan, seketika Irawan terkejut. Ia tidak tahu seperti apa ceritanya, tetapi ia tidak menyangka, bahwa ayahnya pernah membunuh seseorang.

“Bedebah sialan! Lepasin! Lepas!” teriak seseorang yang baru keluar dari salah satu ruangan dengan diseret oleh pria yang merupakan antek Bu Devi.

Mendengar suara teriakan barusan, Irawan langsung menoleh. Terlihat sang ayah berusaha memberontak, meski tangan dan kakinya diikat.

“Papa?” bisik Irawan.

Pria tadi mendorong tubuh Edo Dewangga tepat di dekat kaki Bu Devi. Kini, Bu Devi tersenyum dan berjongkok di depan Tuan Edo. Kemudian, ia menarik rambut Tuan Edo kasar dan menariknya ke dekat wajahnya. Sontak hal itu membuat Tuan Edo geram dan marah, tetapi tidak bisa melawan.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang