35. Sakit Tetapi Tak Berdarah

36 6 80
                                    

Suara bel tanda istirahat kedua menggema di SMA Mahardika. Para murid dengan penuh suka cita berlari keluar kelas. Jam istirahat kedua memang jam yang selalu ditunggu karena berdurasi lebih panjang dan memberikan para murid waktu makan siang yang lebih nyaman. Murid-murid di kelas 11 IPA 3 hanya tersisa beberapa, termasuk Sandrina yang sedang memasukkan alat tulis ke dalam tas, Sony yang sibuk mencari uangnya di tas, dan yang pasti masih ada Irawan yang tidur dengan nyaman.

“San, lo mau ke kafetaria, nggak?” tanya Sony setelah menemukan uangnya.

“Iya, dong. Perut gue udah laper begete,” jawab Sandrina sembari menoleh ke belakang.

“Gue kira lo nggak bakal ke kafetaria kayak kemarin, soalnya sampe sekarang anak-anak masih jadiin lo bahan rujakan.” Sony menambahkan. Kemudian, menunjukkan layar ponselnya pada Sandrina yang menampilkan obrolan grup chat kelas.

“Gue kemarin nggak ke kafetaria karena udah dapet jatah makan di tempat olimpiade. Bukan karena takut dengerin rujakan anak-anak lain soal status gue. Lagian, kepsek 'kan udah jelasin pas apel pagi tadi kalo apa yang dibilang Paramitha cuma kesalahpahaman. Gila banget ada yang masih percaya kalo gue anak haramnya kepsek. Emangnya gue punya tampang anak haram, apa? Nyokap gue cewek baik-baik, ya! Bukan cewek murahan yang bisa sampe bikin anak haram sama suami orang!” Sandrina kembali dibuat naik darah setelah membaca beberapa komentar gila tentangnya. Terlebih, ada yang mengetik komentar bahwa ibunya bukan wanita baik-baik.

Mendadak Irawan bangun setelah mendengar perkataan Sandrina. Ia mengangkat wajah dan menatap Sandrina tajam. “Tampang lo keliatan halal, nggak haram sama sekali!”

Setelah mengatakan satu kalimat ambigu dengan nada kesal, Irawan beranjak berdiri dan berjalan keluar kelas. Tentu saja hal itu membuat Sandrina dan Sony heran. Tidak biasanya Irawan bersikap seperti itu.

“Dia marah?” tanya Sandrina pada Sony.

Sony mengangkat kedua bahu sebagai jawaban, sebab ia juga tak paham dengan maksud ucapan teman sebangkunya barusan. Dua orang beda gender itu melihat Irawan keluar kelas tanpa ada yang berani memanggil.

Sejak tadi tampak seperti masih tidur nyenyak, ternyata diam-diam Irawan mendengarkan obrolan Sandrina dan Sony. Sejujurnya Irawan merasa tersinggung dengan perkataan Sandrina tentang anak haram hasil perbuatan wanita murahan yang tidur dengan suami orang lain. Meski orang lain selain keluarga Dewangga dan teman dekatnya seperti Vino dan Dikta, tidak ada yang tahu tentang asal-usulnya, tetapi setiap mendengar hal-hal semacam itu akan membuat Irawan kesal sendiri. Fakta tersebut seolah menamparnya.

Irawan berhenti berjalan di ujung koridor setelah menyadari kalau sikapnya tadi aneh. Sekarang ia justru menyesal karena telah mengatakan hal ambigu tadi pada Sandrina.

“Sial! Kenapa gue tadi bilang gitu?” bisiknya.

“Sandrina marah, nggak, ya?” Irawan menggaruk puncak kepala.

Irawan ingin kembali ke kelas untuk menjelaskan bahwa apa yang dikatakan tadi hanya candaan semata. Namun, ia bingung bagaimana harus menjelaskan. Ia sudah terlanjur keluar kelas dengan sikap seperti sedang marah. Jika mendadak kembali, Sandrina dan Sony malah akan heran dan banyak bertanya.

Pada akhirnya, Irawan memutuskan mencari tempat sepi untuk menyendiri. Ia menaiki tangga menuju rooftop untuk menenangkan diri. Sesampainya di rooftop, Irawan duduk di ujung pagar pembatas untuk melihat pemandangan area sekitar sekolah. Tak lupa, murid laki-laki itu mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik dari saku. Kemudian, mulai menyalakan pemantik dan membakar ujung rokok setelah pangkal rokok dijepit bibir mungilnya.

Di saat sedang gundah, merokok seperti menjadi pelarian Irawan. Memang bukan kebiasaan yang baik. Nyonya Riana juga kerap melarang sang cucu merokok. Namun, jangan panggil ia Irawan jika semudah itu menuruti perkataan orang lain.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang