20. Peduli tapi Pura-Pura Tidak Peduli

37 7 101
                                    

Sandrina memasukkan alat tulis ke dalam tas. Sejak jam pelajaran terakhir, perutnya terasa tak nyaman. Ia sudah menahan dan berusaha untuk tak merintih kesakitan. Namun, semakin lama terasa semakin tak nyaman dan mulai sakit. Melihat Sandrina menghela napas setelah memasukkan semua alat tulis ke dalam tas, Maya jadi penasaran.

“San, lo kenapa? Sakit?” tanya Maya.

“Perut gue rasanya nggak nyaman,” jawab Sandrina sembari memegang perutnya.

Maya melihat jam dinding yang terpajang di depan kelas. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Itu berarti, kemungkinan UKS sudah tutup karena guru yang bertugas juga pasti sudah pulang.

“Gimana? Lo kuat pulang, nggak?” Maya terlihat khawatir.

“Kuat nggak kuat, gue kuat-kuatin.” Sandrina mulai beranjak berdiri. Ia menyandang tas dan melangkah pelan dengan digiring Maya.

Ketika Sandrina sudah sampai di ambang pintu, Irawan membuka mata. Ia mengangkat kepala dan melihat punggung Sandrina yang semakin menjauh.

Jauh di lubuk hati Irawan yang paling dalam, pemuda itu sebenarnya ingin membantu Sandrina dengan mengantarnya pulang. Akan tetapi, sejak kejadian kemarin, Irawan dan Sandrina tak saling bicara, bahkan menyapa. Keduanya seolah enggan berbaikan dan merasa saling benar.

Sebuah ide terlintas di benak Irawan. Secepatnya ia mengeluarkan ponsel dari saku dan mulai mengetik sebuah pesan untuk dikirim pada seseorang.

[Son, tolong anterin Sandrina pulang! Dia lagi sakit. Kasihan kalo pulang naik angkot atau bus kota.]

Setelah mengirim pesan, Irawan kembali merebahkan kepala ke atas meja. Entah benar atau tidak tindakannya. Yang pasti, perasaan Irawan saat ini lebih mendominasi daripada logikanya.

Beberapa detik kemudian, ponsel Irawan bergetar. Ia lekas melihat pesan yang masuk barusan.

[Trus, gue bakal dapet apa kalo nurut?]

Irawan berdecih. Sony sungguh perhitungan padanya. Namun, jangan panggil ia Irawan kalau tidak tahu cara membuat Sony menjadi penurut.

[Kontak WA sama semua akun medsos Yeslyn]

Setelah mengetik balasan, Irawan kembali mengirimnya. Tak sampai lima detik, sebuah pesan kembali masuk.

[Siap, Bosque!]

Irawan tersenyum membaca balasan Sony. Jika menyangkut Yeslyn, Sony pasti akan membantu dengan penuh semangat. Ah, memang Sony tengah dimabuk cinta.

“Dasar bucin!” Irawan bergumam.

Pemuda itu beranjak berdiri sembari membawa tas. Ia keluar kelas dengan langkah gontai. Dari lantai dua, Irawan melihat Sony membonceng Sandrina dan melajukan motor matic-nya menuju pintu gerbang sekolah.

“Ada juga penyakit yang berani nemplok ke Sandrina.” Irawan tersenyum.

Setelah kepergian Sony dan Sandrina, sebuah mobil hitam mengkilap memasuki halaman sekolah. Beberapa orang berpakaian rapi keluar dari kendaraan berharga fantastis itu. Melihat hal tersebut, Irawan hanya bisa menghela napas. Ya, sudah bukan hal aneh lagi, jika sang nenek mulai mengirim orang-orangnya untuk menjemput Irawan agar tak kelayapan sepulang sekolah.

“Nenek Lampir satu ini nggak pernah kehabisan ide,” bisik Irawan seraya kembali berjalan.

Ketika sampai di dekat tangga, orang-orang neneknya sudah menyambut. Irawan hanya menurut dan berjalan dengan diiringi orang-orang tersebut. Beberapa murid yang melihatnya tak bisa menahan diri untuk menjadikan Irawan bahan omongan dengan teman mereka.

“Gila, sih. Pulang sekolah aja dijemput sama bodyguard.”

“Enak banget jadi Irawan. Nggak perlu rajin belajar, gedenya udah pasti bakal jadi CEO Dewangga Group.”

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang