32. Gantungan Kunci Sialan

28 7 80
                                    

Sandrina berlari keluar gang dengan terburu-buru. Hari ini ia akan mengikuti olimpiade, tetapi malah bangun kesiangan. Memang sial benar gadis itu. Sudah bangun kesiangan, masih harus mencari kendaraan umum untuk sampai ke sekolah. Sebab sudah pukul tujuh lebih, bus kota yang biasa ia tumpangi bersama beberapa murid dari sekolah lain sudah lewat. Kini hanya tersisa angkutan umum yang harus melewati pasar terlebih dahulu sebelum sampai ke sekolah. Terpaksa Sandrina harus menaiki kendaraan tersebut karena tak punya pilihan lain.

“Mampus gue! Mudah-mudahan masih ditungguin,” bisik Sandrina dengan pikiran tak karuan.

Di angkutan umum itu, hanya Sandrina saja penumpang yang berstatus sebagai pelajar. Sisanya adalah ibu-ibu dan nenek-nenek yang hendak ke pasar dengan membawa sayuran dan ikan pindang. Aroma ikan pindang yang tak jauh dari tempat Sandrina duduk begitu menyengat, membuat Sandrina khawatir akan mempengaruhi aroma seragamnya.

“Nek, bisa, nggak, ikan pindangnya ditaruh di belakang aja?” tanya Sandrina, berusaha memasang wajah ramah dan nada bicara yang halus meski sebenarnya ia sangat ingin memaki wanita tua yang seperti sengaja menaruh ikan tersebut di dekatnya.

“Kok ngatur? Emangnya kamu anaknya yang punya angkot?” tolak si nenek dengan nada ketus.

Sungguh rasanya Sandrina ingin menarik mulut wanita tua di depannya. Ia sudah sangat ramah dan lembut dalam berbicara, tetapi malah mendapat balasan sinis.

“Ya tapi 'kan bau ikan pindang nenek ini amis dan bikin seragam saya jadi ikutan amis,” sungut Sandrina.

“Siapa suruh naik angkot pas udah pake seragam?!” balas si nenek tak mau kalah, membuat Sandrina sangat ingin menjambak rambut putih wanita itu.

Seorang wanita berwajah pucat yang duduk di samping Sandrina menggeser posisi duduk agar Sandrina bisa sedikit menjauh dari ikan pindang yang jadi biang masalah.

“Kamu agak ke sini aja biar nggak terlalu deket!” kata wanita tersebut.

“Makasih, Tante!” sambut Sandrina sembari tersenyum dan menuruti apa yang dikatakan orang di sampingnya.

Tak lama kemudian, ponsel Sandrina bergetar. Sebuah chat datang dari seseorang. Sandrina pikir, itu chat dari Pak Yudi atau kepala sekolah yang mungkin akan memarahinya karena belum datang ke sekolah. Akan tetapi, tebakan Sandrina salah. Itu adalah chat dari Irawan.

[Lo kok belum dateng? Busnya udah berangkat. Atau jangan-jangan, lo udah berangkat ke tempat olimpiade sendiri?]

Sandrina lekas membalas pesan Irawan. Rasanya ia mau mengamuk saja setelah mengetahui kalau pihak sekolah meninggalkannya. Jelas-jelas pihak sekolah yang menyuruhnya ikut serta dalam olimpiade, tetapi ketika dia datang terlambat, malah meninggalkannya begitu saja, seolah Sandrina tak dibutuhkan.

[BANGSAT! GUE DITINGGALIN GITU AJA?]

[GUE BANGUN KESIANGAN. SEKARANG GUE MASIH DI ANGKOT. TAPI  ANGKOTNYA MAU KE PASAR DULU. ANJING! BANGSAT SEMUA EMANG! SIAL BANGET!]

Sandrina langsung membalas dua balasan disertai capslock saking kesalnya. Entah apa yang akan ia lakukan nanti saat tiba di sekolah. Mungkin Sandrina akan mengumpati kepala sekolah yang merupakan teman ibunya. Ah ralat, lebih tepatnya teman dekat ibunya yang sedang dalam tahap pedekate.

Rasa sebal Sandrina semakin membuncah tatkala angkutan umum yang ditumpangi terus menambah penumpang, padahal tempat duduk sudah penuh. Memang Sandrina tak lagi mencium bau ikan pindang yang super amis, tetapi mencium berbagai aroma keringat manusia bercampur parfum dan bau rokok yang menyengat. Sandrina segera menutup hidungnya seraya menggerutu dan terus mengumpat.

“Coba kamu pake ini aja!” Wanita yang duduk di samping Sandrina memberinya sebuah masker sekali pakai.

Sandrina menerimanya dengan senang hati. Di saat seperti ini, rasanya ia beruntung bisa duduk berdampingan dengan orang baik.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang