52. Rahasia yang Terungkap

26 6 38
                                    

Vino dan Irawan memasuki UKS bersama. Setelah membantu Irawan duduk di salah satu ranjang, Vino berusaha mencari guru yang bertugas di UKS. Namun, tempat itu seolah tak berpenghuni. Entah berada di mana guru yang bertugas saat dibutuhkan seperti sekarang. Karena tidak ada pilihan lain, Vino memutuskan mencari obat untuk mengobati luka Irawan. Ia mengambil beberapa obat dari rak di ruang penyimpanan obat.

Setelah mendapat obat yang diinginkan, Vino keluar dari ruang penyimpanan obat dan berniat menghampiri Irawan yang sudah menunggu. Namun, saat Vino berada di ambang pintu, sudah ada Sandrina yang mendahuluinya merawat luka di lutut Irawan. Dengan telaten, Sandrina membersihkan darah yang terus mengalir dari luka tersebut. Setelah itu, Sandrina mengolesi luka tadi dengan cairan pembersih luka dan mulai mengolesi obat. Sesekali Irawan merintih kesakitan, sebab terasa perih di bagian yang diolesi obat.

Sandrina yang mendengar rintihan Irawan langsung melirik Irawan. Dari lirikannya, gadis itu seolah berkata pada Irawan untuk menahan rasa sakitnya sementara waktu. Selesai mengolesi obat pada luka, Sandrina kini membalut luka tersebut dengan rapi. Tanpa Sandrina sadari, sejak tadi Irawan menatapnya lekat.

‘Sialan!’

Irawan mengumpat dalam hati. Jika Sandrina terus bersikap baik padanya, ia akan semakin jatuh cinta pada gadis berambut panjang itu. Lalu, bisakah Sandrina bertanggung jawab atas cinta yang disebabkannya?

“Selesai!” ucap Sandrina seraya beranjak berdiri setelah membereskan isi kotak obat.

Tangan Irawan meraih lengan Sandrina, membuat Sandrina menghentikan langkah. Lalu Sandrina menoleh, memandang Irawan. “Kenapa Ir?”

“Lo nggak lupa sama taruhan kita, 'kan?” tanya Irawan.

Sandrina berdecih. Di saat seperti ini, Irawan masih saja memikirkan taruhan. Otak pemuda itu benar-benar sudah rusak setengahnya.

“Gue inget, Ir. Lo tenang aja! Lagian, lo mau minta apa sekarang?” balas Sandrina dengan mendekatkan wajahnya pada wajah Irawan.

“Gue ... gue pengen ... pengen lo jadi pa—”

“Adik Ipar!” pekik Sony yang tiba-tiba datang dan langsung menyingkirkan Sandrina.

Irawan menghela napas. Seperti biasa, Sony selalu menjadi setan di antara ia dan Sandrina. Ingin sekali Irawan menendang pantat teman sebangkunya itu agar tidak terus menjadi setan pengganggu.

“Lo nggak apa-apa, 'kan? Kaki lo nggak luka parah, 'kan?” tanya Sony heboh sambil memeriksa anggota tubuh Irawan.

Hal itu membuat Irawan sangat tidak nyaman. Secepatnya ia memegang tangan Sony agar berhenti menyentuh anggota tubuhnya, terutama wajah tampannya.

“Gue baik-baik aja, Kakak Ipar. Gue cuma dijegal sama Nando, bukan digebukin orang se-RT!” jawab Irawan tampak kesal.

Sony tersenyum dan memasang wajah bodoh. Tadi ia terlalu kesal dan marah karena ulah Nando, sampai-sampai ia lupa kalau Irawan terluka dan butuh pertolongan cepat.

Irawan melihat ke arah pintu yang menampakkan sosok Vino berdiri seorang diri. Ia lekas turun dari ranjang dan berjalan pelan menuju tempat Vino berada. Sony dan Sandrina mengikuti di belakang Irawan.

“Vin, kenapa lo diem di sini?” tanya Irawan.

Vino terlihat kikuk dan bingung. Tangannya yang memegang obat langsung disembunyikan ke belakang punggung. Sebenarnya, tadi ia berniat masuk ke ruangan tempat Irawan berada. Namun, saat melihat Sandrina mengobati luka Irawan, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Vino tidak bisa menjelaskan, tetapi melihat Sandrina begitu dekat dengan Irawan membuatnya kurang nyaman.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang